Kamis, 23 April 2009

Proposal Untuk Pemecahan Masalah Fundamental Kerusuhan Ambon "MENUJU KEHIDUPAN BERBANGSA YANG BERPARADIGMA BHINNEKA TUNGGAL IKA"

 
Proposal Untuk Pemecahan Masalah Fundamental Kerusuhan Ambon
"MENUJU KEHIDUPAN BERBANGSA
YANG BERPARADIGMA BHINNEKA TUNGGAL IKA"
 
1. P e n d a h u l u a n.
Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, telah menelan ratusan (bahkan mungkin ribuan) korban jiwa manusia tak berdosa, ribuan rumah penduduk, puluhan tempat ibadah, serta ratusan sarana perekonomian. Kerusuhan dimaksud ternyata telah membawa dampak negatif, sehingga sangat mempengaruhi terganggunya sistem pendidikan dan aktivitas ekonomi masyarakat; belum terhitung rusaknya hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Maluku, khususnya di Kota Ambon. Kerusuhan yang berlarut-larut hingga lebih dari satu bulan tersebut, secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku (terutama di Maluku Tengah) dan intervensi "budaya impor", telah melemahkan kearifan budaya lokal. Kondisi yang rentan sedemikian, kemudian dieksploitasi dan dimanfaatkan secara sistematis oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum. Karena itu, pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dengan berbagai implikasi yang timbul, seyogianya tidak disederhanakan, sebab jika demikian, pemecahan masalahnya tidak akan tuntas, bahkan hanya mengalihkan konflik massa ke waktu berikutnya.
Dalam kerangka pemecahan Kerusuhan Ambon secara mendasar, diperlukan kajian yang komprehensif dan integratif agar dapat meminimalkan kecenderungan berpikir simplisistik, terutama untuk mengungkapkan sumber-sumber masalah yang secara akumulatif membentuk titik-titik kritis (critical points) pada jaringan interaksi antar elemen di dalam masyarakat. Titik tolak ini penting, sebab eksploitasi suatu kerusuhan sosial yang bersifat luar biasa (massive) seperti di Ambon ini, tentu tidak terjadi secara spontan dan seketika, tetapi lazim didahului oleh pematangan kondisi sosio-psikologis massa, baik secara sengaja maupun tanpa disadari. Ini berarti, variabel waktu, pola hubungan sosial masyarakat di desa maupun kota, berbagai kebijakan publik, dan pendekatan pembangunan secara nasional, ikut menentukan pra-kondisi kerusuhan, termasuk yang terjadi di Ambon.
Oleh sebab itu, prinsip yang seharusnya dipedomani dalam upaya mencari solusi untuk membangun kembali keharmonisan struktur sosial bagi kebutuhan jangka panjang atau melakukan suatu rekayasa tatanan sosial masyarakat baru di Maluku, khususnya Maluku Tengah, dan Indonesia Baru pada umumnya, haruslah didasarkan pada itikad mengedepankan semua fakta empirik sesuai realitas obyektif yang jujur; dan yang terpenting ialah tanpa pretensi dan kepentingan politik sempit. Dalam konteks demikian, maka pokok-pokok pikiran yang disampaikan ini, pertama-tama didasarkan pada suatu gambaran tentang pola hubungan sosial dalam masyarakat di daerah pedesaan dan perkotaan di Maluku Tengah, proses pelemahan pranata sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat baik yang dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pembangunan nasional yang memarjinalkan kearifan budaya lokal sebagai katup pengaman potensi konflik sosial, maupun intervensi "budaya impor", serta identifikasi pola Kerusuhan Ambon. Akhirnya akan dikemukakan pula beberapa solusi pemecahan masalah Kerusuhan Ambon dalam rangka mengembangkan sebuah platform baru kehidupan berbangsa berdasarkan cita-cita para pendiri republik ini.
2. Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Maluku Tengah.
Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, kemudian bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon. Migrasi ini, memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat kebudayaan baru yang diintrodusir oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu pengaruh kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean) dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore.
Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, Pemerintah Kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama dengan Negeri, yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti ini, memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian, maka negeri-negeri menjadi "negara-negara kecil" dengan pemerintah, rakyat dan teritori tertentu, dipimpin oleh Raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri, dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan pendatang. Dengan demikian, maka di dalam masyarakat Maluku Tengah ini dikenal 2 (dua) kelompok atau kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat). Anak Negeri ini, terdiri atas 2 kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani, untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak Negeri Salam, untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Salam. Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal (Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike, dan Tial.
Yang disebut Orang Dagang, ialah para pendatang dari luar Negeri, baik karena ikatan perkawinan dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat (guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari Orang Maluku Asli yang berasal dari Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan suku bangsa Cina serta Arab. Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.
Orang Dagang yang berasal dari etnik Buton yang berdiam di sebuah Negeri, biasanya dalam jumlah puluhan kepala keluarga, dan hampir seluruhnya datang dan menetap dalam Negeri Kristen. Mereka ini, sudah ratusan tahun mendiami Negeri-Negeri Kristen, dan kehadirannya sebagai petani penggarap lahan, baik Tanah Dati maupun Tanah Negeri. Sejak kedatangan etnis ini hingga tahun 1970an, mereka ini membentuk komunal yang terpisah dengan Anak Negeri, dan hidup dengan tradisi maupun agama yang dianutnya, secara bebas.
Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa kepala keluarga. Mereka ini, hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri. Walaupun mereka berbaur dengan Anak Negeri, pada umumnya, tradisi nenek moyangnya tetap dipertahankan, terutama yang berasal dari keturunan Cina. Demikian juga agama yang dianutnya, terutama keturunan Arab, pada umumnya tetap dipertahankan, sekalipun mereka mendiami sebuah Negeri yang pemeluk agama Anak Negerinya berbeda. Saat akan melaksanakan ibadah berjamaah misalnya, umumnya mereka melakukan ibadah di Negeri yang sama agamanya, atau ke kota terdekat.
Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk PELA dan GANDONG, atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan. Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan kedua kelompok masyarakat ini, lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata.
Berdasarkan gambaran antropologis dan sosiologis di atas, maka sesungguhnya dalam kehidupan sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Serani, Anak Negeri Salam, dan Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Serani dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya PELA atau GANDONG yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini. Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan antar kedua Negeri yang yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat kegotong-royongan ini, dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Serani merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa berkewajiban untuk menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja. Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral, dan ritual, dan sama sekali tidak ada nuansa ekonomi didalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual ini, tidak mengurangi atau-pun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut.
Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan ekono-mi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat hubungan sosial antar kedua kelompok masyarakat ini, bukan agama, tetapi transaksi ekonomi. Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Serani. Sedangkan Orang Dagang dagang asal Negeri lain, pada umum-nya pola hubungan sosial dengan Anak Negeri direkat oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain. Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang diluar kesatuan budaya. Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Namun ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini, ialah kedua-duanya tidak diberikan hak dalam penguasaan Tanah Dati atau Tanah Negeri.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, secara sosiologis dan antropologis, pola hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah, sudah mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam konteks Salam-Serani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini, tereliminasi dengan kearifan budaya lokal, maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan kewajaran, sehingga konflik sosial tidak termanifest. Dengan kata lain, potensi tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian terdalam struktur kepribadian masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih berfungsi dengan baik sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi sosial yang bernuansa primordial.
3. Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Kota Ambon.
Kota-kota di Maluku Tengah, sama seperti kota lainnya dimanapun, terbentuk karena adanya pusat pemerintahan dan kegiatan politik, pusat kegiatan ekonomi, maupun pusat kegiatan pendidikan. Karena itu, kota lazim menjadi pusat konsentrasi manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, maupun agama dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan, di Maluku, mempunyai daya tarik bagi masyarakat dari berbagai penjuru desa yang ada di Maluku maupun luar Maluku. Karena itu, proses migrasi secara spontan terjadi ke Kota Ambon sekitar permulaan abad 19, dimana para migran Anak Negeri Serani dari daerah pedesaan datang ke Kota Ambon umumnya untuk kepentingan pendidikan, sedangkan Anak Negeri Salam datang lebih untuk kepentingan ekonomi, yakni sebagai pedagang dan sedikit sekali yang datang untuk kepentingan pendidikan, dan Orang Dagang dari luar bermigrasi ke Kota Ambon untuk kepentingan ekonomi semata. Para Migran dari daerah pedesaan ke Kota Ambon, mem-bentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang agama sesuai dengan segregasi teritori di pedesaan, walaupun dalam sebuah komunal tidak lagi homogen seperti Kon-sep Anak Negeri - Orang Dagang. Sebaliknya, para pendatang dari wilayah-wilayah lain dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa, membentuk komunal-komunal yang segregatif berdasarkan latar belakang etnik. Pola pemukiman yang segregatif di Kota Ambon dengan masyarakat yang semakin heterogen ini, membentuk sentimen kelompok dalam berbagai latar belakang, yaitu sentimen kelompok agama, ikatan negeri, maupun etnik yang rawan konflik.
Seiring dengan perkembangan kepemerintahan dan politik, pendidikan, dan ekonomi, Kota Ambon sebagai sentral seluruh kegiatan tersebut, semakin dipadatkan dengan para migran yang tidak hanya berasal dari daerah pedesaan, tetapi juga dari daerah-daerah lain disekitarnya, terutama Daerah Sulawesi Selatan. Dengan perkembangan Kota Ambon yang semakin pesat ini, maka Kota Ambon menjadi tumpuan untuk mencari lapangan kerja baru. Orang Ambon Serani, dengan bekal tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, mempunyai orientasi kerja pada biro-krasi, sebaliknya Orang Ambon Salam sebagian besar mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil. Pendatang suku bangsa Cina dan Arab, yang pada dasarnya menda-tangi Maluku karena kepentingan ekonomi, berorientasi kerja pada sektor ekonomi berskala me-nengah dan besar, sedangkan para pendatang dari Sulawesi Selatan dan Tenggara, mempunyai orientasi kerja pada sektor ekonomi berskala kecil.
Sejalan dengan perkembangan Kota Ambon yang demikian pesat, dan proses migrasi masuk yang tidak diimbangi dengan kebijakan kependudukan yang berbasis pada daya dukung pulau, mengakibatkan semakin tingginya tingkat kepadatan penduduk. Dengan tingginya ke-padatan penduduk ini, maka ruang kerak penduduk semakin sempit, sehingga persaingan se-cara ekonomis, baik terhadap ruang (tanah) maupun lapangan kerja, mengakibatkan semakin tingginya potensi konflik antar kelompok masyarakat.
Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, terutama terpuruknya harga cengkeh, akibat kebijakan Tata Niaga Cengkeh yang monopolistik, maka kehidupan ekonomi para petani cengkeh di Maluku semakin sulit dari waktu ke waktu. Anak Negeri Kristen yang selama ini tidak berbakat di sektor swasta, sebab selama ini orientasi kerja hanya pada birokrasi, mencoba mengalihkan aktivitas ekonomi keluarga pada sektor ekonomi. Saat akan memasuki dunia karier yang baru, yakni sebagai wirausahawan, sudah ada "barier" , yaitu kelompok masyarakat lain, yakni Anak Negeri Islam dan Orang Dagang, baik dari etnis Buton, Bugis/Makassar, Arab, maupun Cina, yang lebih mapan dalam berbagai aspek manajerial usaha. Selain itu, pola rekruitmen pegawai birokrasi yang cenderung berpendekatan koneksitas (KKN), menimbulkan ketersinggungan sosial ekonomi dikalangan para pencari kerja yang sangat minim koneksinya pada instansi birokrasi.
Beragamnya motivasi kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kota Ambon ini, dan terjadinya berbagai ketimpangan sosial, mengakibatkan terjadi perubahan pola hubungan sosial, terutama pada kelompok masyarakat asal Negeri-Negeri, dari pola hubungan yang berbasis pada budaya tolong menolong dan saling menghormati, berdasarkan kewajiban sosial, moral, dan ritual, menjadi orientasi kepentingan yang bersifat ekonomis. Perubahan hubungan sosial ini, mengakibatkan semakin bertambah mengentalnya solidaritas kelompok yang berbasis pada agama, sehingga potensi konflik di Kota Ambon semakin tajam.
4. Proses Melemahnya Hubungan Sosial Dalam Masyarakat Maluku Tengah.
Menyimak pola hubungan sosial masyarakat di Maluku Tengah yang dikemukakan di atas, pada dasarnya kehidupan masyarakat menyimpan potensi konflik. Negeri-negeri terpola pada perbedaan-perbedaan kelompok, baik terkait dengan teritori maupun agama, yaitu Negeri Salam dan Negeri Serani. Pembagian kelompok negeri ini menimbulkan solidaritas primordial yang kuat di kalangan anggota kelompok. Disatu pihak terdapat solidaritas kelompok yang berbasis pada negeri, dilain pihak terdapat juga solidaritas kelompok yang berbasis pada agama.
Dalam realitas kehidupan sosial, perbedaan kelompok ini direkat oleh kebudayaan lokal, yaitu adat, karena adanya kesatuan budaya yang dianut oleh masyarakat di Maluku Tengah. Konsep Salam-Serani sebenarnya merupakan sebuah totalitas Orang Ambon dalam konteks budaya. Hubungan-hubungan pela dan gandong merupakan jaringan kesatuan yang luas, dan menjadi perekat antar kelompok masyarakat yang berbeda, sebagai sebuah totalitas dan kesatuan budaya.
Dalam perkembangan kemasyarakatan dan kebangsaan, potensi konflik antar kelompok masyarakat, baik di Maluku Tengah maupun Indonesia pada umumnya, tidak dikelola melalui tahapan pluralisme yang disertai dengan pemberdayaan katup-katup pengamannya (safety valve). Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui bagaimana seharusnya menghargai realitas obyektif, yaitu kebhinnekaan yang ada, sehingga sikap politik masyarakat tidak pernah menca-pai tingkat kedewasaan yang memadai untuk berdemokrasi. Perjalanan berbangsa dan berne-gara selama 32 tahun belakangan ini menunjukan bahwa manajemen pembangunan Pemerin-tahan Orde Baru sudah mengalami kegagalan dalam memfasilitasi perkembangan pluralisme dari tahap awal, yakni Pluralisme Primordial menuju Pluralisme Liberal, untuk selanjutnya mencapai tahap Pluralisme Konsosiasional. Hal ini disebabkan oleh pendekatan stabilitas yang melahirkan struktur masyarakat yang didominasi oleh ideologi seragam dan keseragaman, yang sengaja menihilkan kebhinnekaan, sehingga tertib sosial yang berhasil dicapai ternyata hanya mencerminkan integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak melembaga dalam perilaku berbagai kelompok, baik komunitas etnis, agama, maupun antar golongan.
Dalam perjalanan kenegaraan dan kebangsaan, sejak awal tahun 1970an, dalam ke-rangka terciptanya stabilitas, maka mulai terintrodusir Paradigma Mayoritas-Minoritas dalam manajemen pembangunan. Paradigma ini terwujud dalam berbagai produk undang-undang maupun praktek kenegaraan. Praktek bernegara dan bermasyarakat yang sangat kental dengan paradigma ini ialah Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dan budaya mohon petunjuk. Kedua bentuk paradigma ini merupakan apresiasi dari nilai-nilai budaya Jawa yang dipaksakan pemberlakuannya diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasinya, rasa mayoritas (sense of majority) cenderung mengekspresikan diri secara terbuka melalui tuntutan-tuntutan dominatif, yang tanpa disadari kemudian menstimulasi munculnya rasa minoritas (sense of minority), sebagai upaya resistensi dalam berbagai bentuk.Konsekuensi logis dari sense of majority versus sense of minority pada lapisan masyarakat bawah (grassroot level), ialah berkembangnya polarisasi yang cukup kuat. Hal ini terjadi karena berbagai saluran ekspresi diri yang idealnya berlangsung secara kompetitif dan prestatif tersumbat oleh kepentingan prestise pribadi dan kelompok, yang dipraktekan nyaris tanpa moral.
Awal tahun 1990an pendekatan berparadigma mayoritas-minoritas mulai berubah basis-nya dari dominasi Budaya Jawa, menjadi dominasi keagamaan. Implikasi terhadap berubahnya basis paradigma mayoritas-minoritas ini, ialah politisasi agama yang semakin mempertajam konflik sosial dalam kehidupan masyarakat Maluku, terutama Maluku Tengah, yang memang secara sosiologis telah hidup dalam Konsep Salam-Serani. Konsep Salam-Serani yang bernuansa kultural berubah esensinya menjadi Konsep Islam-Kristen yang bernuansa universal. Akibatnya, terjadi perubahan perilaku sesama Anak Negeri, yang semula saling mengunjungi ataupun menghadiri acara ritual adat sekaligus dengan ritual agama, mulai memilah-milah untuk hanya mengunjungi atau menghadiri acara ritual adat saja.
Pendekatan mayoritas-minoritas berdasarkan nuansa keagamaan, merupakan embrio hancurnya nilai-nilai kemanusiaan, apalagi jika ditunjang dengan politisasi agama. Sebab agama mempunyai karateristik yang khas yaitu "nilai ekslusifistik dan ekspansif", sehingga politisasi agama akan mendorong berkembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara dalam nuansa-nuansa eksklusifisme agama. Padahal, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan oleh para founding fathers republik ini, bukan didasarkan pada pendekatan paradigma mayoritas-minoritas dalam bentuk apapun, tetapi didasarkan pada tatanan budaya bangsa yang ber BHINNEKA dan mampu mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam berbagai dimensi pembangunan selama ini, baik kepemerintahan, ekonomi, dan sosial, pendekatan kuantitatif selalu dikedepankan yang diterjemahkan sebagai demokrasi. Padahal esensi demokrasi bukan terletak pada angka-angka statistik, tetapi pada kualitasnya, yaitu bagaimana mendorong seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pem-bangunan bangsa, berdasarkan nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai kultural yang hidup dalam masyarakat di Maluku ialah per-saudaraan dan saling menghargai yang menembusi sekat-sekat agama. Nilai-nilai ini selama berabad-abad telah terbukti men-ciptakan hubungan persaudaraan dan saling menghargai, sehingga interaksi sosial yang dinamis antara seluruh lapisan dan golongan masyarakat di Maluku, dapat berlangsung dalam nuansa rasa persaudaraan yang tinggi dan saling tolong-menolong, sebagai wujud sebuah kewajiban sosial, moral, dan ritual.
Nilai-nilai kultural ini, mulai mengalami degradasi, seiring dengan politik pembangunan yang mengedepankan pendekatan-pendekatan kuantitatif dengan paradigma mayoritas-minoritas berdasarkan keagamaan. Akibatnya, masyarakat di Maluku, terutama di Kota Ambon, terkotak-kotak dalam sekat-sekat agama, sehingga nuansa kebangsaan yang berBHINNEKA mulai surut, diganti dengan nuansa mayoritas-minoritas yang berbasis agama. Dampak langsung ialah, hancurnya nilai dan pranata kultural yang selama ini menjadi perekat dalam kehidupan masyarakat di Maluku, bahkan kemungkinan besar di daerah-daerah lain di Indonesia juga. Hancurnya nilai dan pranata kultural mengakibatkan masyarakat terkotak-kotak, sehingga timbul rasa superioritas mayoritas terhadap golongan minoritas berdasarkan agama. Sebaliknya, golongan minoritas merasa eksistensinya terancam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan pada hakekat BHINNEKA TUNGGAL IKA yang berbasis pada tatanan budaya. Rasa superioritas mayoritas di satu sisi berhadapan dengan rasa terancamnya eksistensi go-longan minoritas di lain sisi, karena paradigma mayoritas-minoritas berbasis agama, menjadi ancaman terhadap integrasi dan keutuhan bangsa.
Ketika gong reformasi memberi ruang yang besar bagi terbukanya saluran aspirasi, timbul dorongan bereksperimen politik dengan resiko tinggi, yang semula dianggap sebagai perilaku demokratis, ternyata kemudian membuka jalan bagi luapan ekspresif yang cenderung anarkhis dari sense of majority, yang merangsang energi sosial massa pada lapisan bawah, muncul kepermukaan sebagai kekuatan destruktif yang semakin mempertajam polarisasi dan jurang antar etnis, agama, dan golongan. Dalam konteks ini, isyu agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen kelompok, menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga agama menjadi kendaraan politik. Kondisi seperti ini, terjadi di Indonesia, sehingga budaya lokal di Maluku Tengah, terutama di Kota Ambon, terpengaruh dan ikut menjadi lebih lemah lagi, sehingga hampir tidak ada lagi katup pengaman untuk menentralisasi konflik sosial yang memang sudah potensial.
5. Kerusuhan Ambon Sebagai Implikasi Melemahnya Budaya Lokal.
Kerusuhan Ambon yang berlarut-larut selama dua bulan, telah mengakibatkan kerugian yang tak ternilai. Jika dibandingkan dengan kerusuhan di tempat-tempat lain, Kerusuhan di Ambon dan sekitarnya merupakan yang terlama dengan kerugian yang terbesar. Ini disebabkan, pola Kerusuhan Ambon sama sekali berbeda dengan yang terjadi pada tempat-tempat lainnya di Indonesia, dan faktor pemicunya juga sangat fundamental, serta meliputi banyak variabel (complicated).
Kerusuhan di Ambon yang mulai terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999, diawali dengan terjadinya pertikaian pribadi antara seorang pendatang beragama Islam dengan seorang Anak Negeri Kristen, yang kemudian melibatkan dua kelompok masyarakat berlabel agama, yaitu Kelompok Islam dan Kelompok Kristen. Awal kerusuhan terjadi di Tempat Pemberhentian Mobil Angkutan di Batu Merah, dimana seorang pendatang beragama Islam dan seorang Anak Negeri Kristen, sopir mobil angkutan kota Jurusan Batu Merah, terlibat pertikaian, kemudian si Anak Negeri Kristen meninggalkan lokasi kejadian dan kembali dengan beberapa temannya yang sekampung dan mengejar si pendatang beragama Islam. Si pendatang beragama Islam ini selanjutnya melarikan diri memasuki Desa Batu Merah dan kembali dengan massa Islam yang membawa berbagai senjata tajam, kemudian mengejar si Anak Negeri Kristen dan teman-temannya, sehingga mereka lari memasuki Kampung Mardika, yang berbatasan dengan Desa Batu Merah. Masyarakat Mardika yang melihat massa Batu Merah mengejar massa yang masuk ke dalam kampungnya sebagai tindakan penghadangan, sehingga terjadilah saling melempar batu antar kedua kelompok massa, yang berakhir dengan dibakarnya 4 (empat) buah rumah penduduk warga Mardika. Saat itu, masyarakat pada lokasi-lokasi pemukiman Kristen mulai mengetahui adanya pertikaian antara Mardika dan Batu Merah, dan tampaknya solidaritas kelompok yang telah mengental dan lemahnya budaya lokal sebagaimana dikonstatasi sebelumnya, mendorong keterlibatan kelompok Pemuda Kristen dari Belakang Soya, lokasi terdekat dengan Mardika, secara berkelompok untuk menuju Mardika guna memberi membantu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dalam jarak yang hampir 3 kilometer ke arah barat Desa Batu Merah, sekelompok massa Islam yang berasal dari Soa Bali, Jalan Baru, dan Waihaong, melakukan provokasi terhadap warga Silale yang beragama Kristen, dengan alasan bahwa Desa Batu Merah telah dibakar oleh Orang Kristen. Saat itu, terjadilah saling melempar dengan batu antara kedua kelompok masyarakat ini, dan berakhir dengan dibakarnya 12 (dua belas) buah rumah penduduk dan 1 (satu) buah gereja, pada malam tanggal 19 Januari 1999 itu. Dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk Kristen di Mardika dan Silale, serta gereja di Silale, mulailah terjadi akumulasi massa dari kedua kelompok agama di berbagai sudut jalan Kota Ambon, diikuti dengan saling menyerang rumah dan tempat ibadah di berbagai tempat.
Pada tanggal 19 Januari 1999 malam dan dilanjutkan besok harinya, warga lima desa Islam di Jazirah Leihitu, yaitu Wakal, Hitu, Hila Islam, Mamala, dan Morela, mulai melakukan penyerangan terhadap 125 anak-anak remaja Kristen yang berasal dari Kota Ambon yang sedang melakukan kegiatan retreat di Field Marine Station milik Universitas Pattimura di Hila. Akibat penyerangan ini, 6 (enam) orang dari rombongan anak-anak remaja ini terbunuh, sedangkan yang lainnya berhasil menyelamatkan diri melalui laut maupun naik gunung ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan dibantu oleh penduduk Desa Asilulu, dan warga Buton di petuanan desa Seith.
Tanggal 20 Januari 1999 pagi, warga kelima desa Islam ini menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk dan gereja tua di Desa Hila Kristen. Warga Desa Hila Kristen semuanya sempat menyelamatkan diri ke Desa Seith dan Kaitetu yang beragama Islam, dan dibantu oleh penduduk kedua desa ini maupun warga Buton disekitarnya, dan dievakuasi ke Desa Hatiwe Besar dan Desa Tawiri, dengan berjalan kaki melalui gunung. Aksi penyerangan massa dari kelima desa ini kemudian meluas ke arah jalan raya menuju Kota Ambon dengan berjalan kaki, yang disertai dengan pembakaran rumah penduduk dan pembunuhan di lokasi-lokasi; Dusun Telaga Kodok, Dusun Benteng Karang, Desa Hunuth/Durian Patah, Desa Waiheru, Desa Nania, dan Desa Negeri Lama. Ironisnya, dalam perjalanan panjang aksi pembantaian dan pembakaran oleh massa dari kelima warga desa tersebut terhadap pemukiman penduduk Kristen ini, massa melewati beberapa pos dan barak militer, tetapi tidak ada tindakan pencegahan oleh aparat keamanan setempat, kecuali yang dilakukan oleh aparat dari Satuan Brimob di Air Besar, Desa Passo. Dalam aksi pembantaian dan pembakaran ini 34 (tiga puluh empat) warga beragama Kristen meninggal dunia, termasuk seorang pendeta wanita dan seorang pendeta laki-laki, serta ratusan rumah penduduk dan sejumlah gereja, maupun harta benda lainnya terbakar dan dijarah. Alasan aksi pembantaian dan pembakaran serta penjarahan yang dilakukan oleh massa dari kelima desa Islam ini, ialah adanya informasi bahwa Mesjid Al fatah yang menjadi representasi identitas umat Muslim di Kota Ambon sudah dibumi hanguskan oleh Orang Kristen.
Informasi mengenai pembantaian, pembakaran, dan penjarahan atas pemukiman-pemukiman Kristen oleh massa dari kelima desa Islam ini, mengakibatkan sentimen dan solidaritas kelompok di kalangan Umat Kristen di Kota Ambon dan sekitarnya tereksploitasi dan muncul ke permukaan secara tidak terkendali sebagai reaksi atas aksi massa tersebut, sehingga terjadilah penyerangan dalam bentuk pembakaran dan pembantaian terhadap Umat Islam di pemukiman-pemukiman Islam maupun obyek-obyek ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh Umat Islam. Dalam kerusuhan antar kelompok masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya ini, aparat keamanan yang ada, tidak sama sekali berfungsi secara maksimal sesuai tugasnya, malahan menurut penilaian kedua kelompok masyarakat yang sedang terlibat dalam kerusuhan ini, aparat keamanan bertindak diskriminatif. Hal ini terbukti dengan puluhan warga sipil yang meninggal dan luka-luka kena tembakan aparat keamanan, dan seorang aparat anggota Kostrad dari Batalion Linud 431 yang berbasis di Ujung Pandang dan tiba di Ambon tanggal 20 Januari 1999, terbunuh oleh warga sipil di Benteng.
Kerusuhan yang terjadi di Ambon ini kemudian meluas ke berbagai tempat di Maluku, yaitu di Sanana, di Saumlaki, dan di Seram (pada berbagai lokasi). Kerusuhan yang terjadi di luar Ambon ini, berupa pembunuhan dan pembakaran rumah penduduk dan tempat ibadah antar kedua kelompok agama Islam dan Kristen.
Kerusuhan sosial yang sempat terhenti tanggal 24 Januari 1999, kemudian berlanjut lagi pada tanggal 14 Februari 1999 berupa penyerangan massa dari beberapa Desa Islam di Pulau Haruku terhadap Desa Kariu yang beragama Kristen, mengakibatkan puluhan orang korban meninggal dunia dan luku-luka dan ratusan rumah penduduk serta dua buah gereja di Desa Kariu terbakar. Kerusuhan di Kariu ini berdampak pada solidaritas Umat Kristen di Saparua, sehingga terjadi penyerangan pada beberapa pemukiman Islam di Saparua, yang mengakibatkan puluhan rumah penduduk terbakar dan puluhan korban jiwa luka-luka dan meninggal dunia.
Tanggal 23 - 25 Februari 1999 kerusuhan yang bernuansa agama kembali terjadi di Batu Merah Dalam, yaitu penyerangan dan pembakaran rumah-rumah penduduk Kristen oleh massa Islam yang berasal dari Batu Merah dan Kampung Galunggung serta Dusun Rinjani. Dalam kerusuhan ini puluhan korban luka-luka dan meninggal dunia terkena tembakan aparat maupun senjata-senjata tradisional, serta puluhan rumah terbakar.
Tanggal 1 Maret 1999 kembali terjadi kerusuhan yang bernuansa agama di Dusun Ahoru dan Dusun Rinjani, berupa saling menyerang antar massa dari kedua kelompok agama yang berdiam di kedua dusun tersebut. Dalam kerusuhan ini, terdapat sejumlah orang meninggal dunia dan luka-luka, serta sejumlah rumah penduduk terbakar. Kerusuhan ini kemudian dilaporkan oleh Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Maluku kepada Menteri Agama bahwa warga Muslim yang sedang sholat subuh diserang dan ditembak di dalam mesjid. Laporan ini kemudian dikonfirmasi oleh beberapa tokoh Islam lainnya dalam rangka pemberitaan, sehingga selama beberapa hari ekspose berita dilakukan secara tendensius oleh berbagai media massa nasional baik elektronik maupun cetak. Akibatnya, timbullah gerakan solidaritas Islam secara nasional dengan tujuan ber-jihad di Ambon.
Kerusuhan masih berlanjut secara massal pada tanggal 5 Maret 1999. Ini diduga kuat sebagai akibat munculnya semangat ber-jihad yang dibakar oleh gerakan Islam secara nasional tersebut. Pada tanggal tersebut massa yang semula berkumpul di Mesjid Al Fatah menyerang wilayah di sekitar Gereja Silo, diikuti oleh pembakaran gedung sekolah SD Latihan yang sementara ditempati para pengungsi beragama Kristen dari Silale. Muncullah reaksi balik dari massa yang beragama Kristen, sehingga menyulut kerusuhan di beberapa tempat sekitarnya. Kerusuhan ini menelan cukup banyak korban manusia baik yang luka berat dan ringan maupun yang meninggal.
Disamping garis besar kronologis peristiwa kerusuhan yang digambarkan di atas, sebetulnya terjadi pula beberapa tindak kriminal yang dilakukan secara berkelompok oleh massa Islam tertentu seperti pembunuhan (ditikam atau diparang) orang-perorangan yang beragama Kristen dan penculikan seorang dosen Fakultas Hukum Unpatti yang kebetulan melewati perkampungan warga Islam. Hal yang sama terjadi pula bagi orang Islam yang melewati perkampungan orang Kristen.
Saat ini tampaknya kerusuhan massal sudah bisa dikendalikan oleh aparat keamanan, bahkan telah diupayakan pula penyerahan berbagai senjata tajam dari warga perkampungan atau desa Islam dan Kristen, sehingga dapat mendukung proses rekonsiliasi yang terus-menerus dilakukan. Untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan hidup bagi warga masyarakat kota Ambon dan sekitarnya, diperkirakan paling tidak periode "mengatasi kerusuhan" oleh aparat keamanan ini akan membutuhkan waktu kurang lebih 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan ke depan, sebelum memasuki tahap "pemulihan (recovery) hubungan-hubungan sosial" dalam kehidupan bermasyarakat antar kedua kelompok masyarakat.
6. Kesimpulan & Pemecahan Masalah Kerusuhan Ambon.
Berdasarkan uraian singkat mengenai kondisi psiko-sosial dan garis besar fakta lapangan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku, merupakan sebuah hasil rekayasa (entah siapa aktor intelektualnya) untuk tujuan tertentu, antara lain (i) merusak tatatan kultur masyarakat Maluku, dan (ii) mendiskreditkan umat Kristen di Maluku, serta (iii) merusak sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Maluku. (iv) memberi aksentuasi dalam rangka merubah stereotip predikat orang Ambon yang dikenal sebagai orang Kristen. Perekayasa kerusuhan ini, adalah orang atau kelompok yang memahami benar kondisi psiko-sosial masyarakat di Maluku, terutama di kalangan Umat Kristen. 
2. Kerusuhan yang melanda berbagai sudut di Daerah Maluku ini, telah dijadikan komoditas politik untuk melemahkan posisi tawar Umat Kristen di Maluku, sebagai salah satu anak kandung Ibu Pertiwi, dalam proses pembangunan bangsa, baik secara nasional maupun lokal. Sebab, kerusuhan ini bukannya tidak mungkin terkait erat dan merupakan kelanjutan dari berbagai tragedi berdarah lainnya di Indonesia terutama di Pulau Jawa yang menelan korban jiwa dan kerugian material dari umat Kristiani. 
3. Nilai-nilai kultural masyarakat di Maluku yang sarat dengan nuansa persaudaraan, yang selama ini hidup dan dipraktekan dalam kehidupan kemasyarakatan, telah berubah menjadi rasa saling mencurigai dan mendendam, antara kelompok masyarakat Kristen dan kelompok masyarakat Islam di Maluku. Tatanan nilai budaya lokal mengalami degradasi bahkan kerusakan akibat menguatnya sentimen nilai universal (agama Islam) dan pengaruh perspektif kebijakan pembangunan yang berlatar belakang pendekatan mayoritas-minoritas. 
4. Rusaknya berbagai infra-struktur ekonomi dan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat, akan berdampak terhadap kelangkaan bahan kebutuhan pokok dan inflatoir dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang, akan sangat mengganggu dinamika pembangunan di Daerah Maluku pada umumnya, dan khususnya Kotamadya Ambon. 
5. Terganggunya aktivitas pendidikan pada semua jenjang pendidikan di Kotamadya Ambon dan sekitarnya, akan mempengaruhi proses perbaikan kualitas sumber daya manusia di Maluku, yang dalam jangka panjang akan melemahkan posisi tawar Orang Maluku dalam pasar kerja lokal maupun nasional. 
6. Kredibiltas pemerintah daerah, terutama Pemerintah Daerah Maluku, Kotamadya Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah, sedang diuji, bahkan kemungkinan besar sedang dirongrong oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan politis khusus. 
7. Pers nasional belum berfungsi sebagai pers yang menjunjung tinggi nilai dan etika jurnalistik, sebab berita-berita yang dipublikasi tidak melalui "check and recheck" secara proporsional dari semua kelompok masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Akibatnya, Orang Kristen di Maluku rusak citranya dimata publik nasional dan internasional, sehingga keselamatan jiwa dan rasa aman Orang Maluku Kristen pada berbagai tempat di Indonesia terancam, hingga aktivitas pendidikan dan ekonomi keluarganya terganggu. Hal ini memberi indikasi bahwa ada sebuah konspirasi besar dan sistematis untuk mengancam eksistensi Orang Maluku Kristen di Indonesia. 
8. Manajemen operasional keamanan dalam mengeliminasi meluasnya kerusuhan, maupun dalam mengatasi kerusuhan, tidak berjalan dengan baik, sehingga perilaku aparat ke-amanan di lapangan serba canggung dan membangun citra diskriminatif dalam menangani berbagai kerusuhan. 
Bertumpu pada berbagai penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, maka dalam rangka upaya memulihkan hubungan sosial kemasyarakatan antar Anak Negeri maupun antara Anak Negeri dengan para pendatang atau Orang Dagang, diperlukan solusi yang komprehensif dan integratif, baik pada aras nasional maupun lokal. Pemecahan masalah dengan pendekatan demikian tidak bisa dihindari karena kerusuhan Ambon merupakan akumulasi masalah yang dipengaruhi baik oleh faktor-faktor nasional (eksternal) maupun internal (lokal/daerah). Disamping itu, untuk mencapai tahap pemulihan hubungan-hubungan sosial yang adil, jujur dan permanen, dibutuhkan adanya konsesi yang harus diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pertikaian. Konsesi dimaksud berupa kesediaan menahan diri, kesediaan memahami apa yang telah terjadi, kesediaan untuk mau mengerti dan menghargai perbedaan yang ada, dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan sebagai starting point bagi proses perdamaian yang abadi.
Secara nasional, diperlukan adanya itikad baik secara politis untuk mengembangkan berbagai kebijakan publik yang konsisten dengan filosofi kebhinekaan untuk menghindar dari kemungkinan penyalahgunaan kebijakan dimaksud oleh oknum atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeksploitasi paradigma mayoritas-minoritas yang pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai politik aliran bagi kepentingan elit tertentu. Oleh sebab itu, rasa mayoritas yang selama ini mewarnai sikap dan perilaku umat Muslim Indonesia harus diminimalkan melalui berbagai cara termasuk sosialisasi nilai dan cara pandang yang berorientasi humanistik. Ini bertolak dari pandangan bahwa mayoritas fisik kaum Muslim Indonesia tidak perlu dieksploitasi dengan berbagai cara; bahkan sebaliknya, keberadaan tersebut seyogianya bisa memfasilitasi rasa aman dan kenyamanan hidup kelompok masyarakat minoritas, termasuk mendorong proses demokratisasi yang bertumpu pada merit system.
Pilihan model pembangunan perlu mendapat perhatian pula. Sebab secara de facto, selama ini praktek pembangunan cenderung menjadikan manusia hanya sebagai objek semata. Pertimbangan filosofis yang mengedepankan nilai-nilai humanistik dimana manusia sebagai subjek atau pelaku pembangunan yang proaktif dan produktif, harus diprioritaskan. Pendekatan ini sebetulnya merupakan upaya untuk mewujud-nyatakan nilai-nilai demokratis, karena rakyat atau masyarakat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Disamping itu, berbagai upaya praktis perlu dikembangkan pula terutama untuk memberi pengakuan secara jelas dan tegas (de jure) atas eksistensi komunitas lokal/daerah dengan budayanya. Dengan demikian, beberapa regulasi nasional yang sangat prinsip seperti Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa perlu disesuaikan dengan realitas objektif yang menjadi kebutuhan masyarakat lokal di tingkat daerah. Maksudnya, walaupun regulasi tersebut bersifat nasional dan berlaku merata di seluruh wilayah Indonesia, tetapi regulasi itu seyogianya memberi ruang dan peluang bagi upaya-upaya penyesuaian dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat persekutuan adat khususnya di daerah Maluku, termasuk Kota Ambon.
Demikian halnya dengan distribusi dan alokasi kebijakan-kebijakan pembangunan dan hasil-hasilnya yang harus diterapkan berdasarkan prinsip keadilan tanpa pertimbangan mayoritas-minoritas atau koneksitas. Prinsip keadilan yang dimaksudkan ini adalah keadilan yang berorientasi pada kebutuhan dan prestasi. Oleh sebab itu, distribusi dan alokasi dimaksud harus ditujukan kepada mereka atau kelompok masyarakat yang membutuhkan dan bukan sebaliknya; begitu pula dengan rekruitmen yang harus mengakomodir mereka yang memiliki kemampuan teruji, mempunyai komitmen sosial yang tinggi, dan lain-lain, dan bukan yang sebaliknya. Begitu pula dengan kesediaan tanpa reserve dari Pemerintah Pusat untuk secara konsisten memberi alokasi nilai-nilai otoritatif kepada Pemerintah daerah melalui prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Alokasi otoritatif demikian akan memungkinkan Pemerintah daerah melakukan pengambilna keputusan yang adaptif dan kondusif dengan tuntutan aspirasi masyarakat, sekaligus mencari peluang-peluang ekonomi baru yang bisa menstimulasi pembangunan dalam berbagai aspek.
Penumpukan kekuatan terutama yang bersifat politis dengan muatan agama atau politisasi agama yang sementara terjadi, harus dapat dikendalikan secara bijak oleh pemerintah. Hal ini disebabkan, penumpukan kekuatan tersebut sangat tidak fungsional dengan kebutuhan pembangunan dalam kerangka memfasilitasi terwujudnya tatanan masyarakat madani yang demokratis. Sentimen atau emosi massa yang primordialistik hanya akan merupakan "bom waktu" yang setiap saat dapat meledak, karena seringkali dieksploitasi untuk kepentingan orang-perorangan atau kelompok tertentu saja.
Dalam konteks nasional, Pemerintah Pusat harus bisa pula menempatkan diri dan berperan secara arif dalam menyikapi tuntutan dan aspirasi masyarakat yang hidup dan berkembang, mengingat realitas kebhinekaan bangsa dalam berbagai aspek kehidupannya. Memenuhi keinginan kelompok tertentu saja dan mengabaikan atau tanpa mempertimbangkan kondisi kelompok-kelompok masyarakat lainnya, hanya akan menciptakan akumulasi masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, perlu ada konsistensi sikap dan perilaku aparat pemerintah dalam menterjemahkan makna filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai kebijakan pembangunan yang adil dan jujur.
Pada tataran lokal atau daerah, diperlukan pula keadilan dalam distribusi dan alokasi sumber-sumber politik dan ekonomi secara merata berdasarkan prinsip merit system. Dengan demikian, dapat dihindari ketersinggungan sosial ekonomi yang terjadi selama ini. Artinya, kebijakan publik yang diatur oleh baik eksekutif maupun legislatif di tingkat daerah harus sesuai dengan konstelasi sosial budaya dan harapan-harapan yang ada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur sosial di Maluku, khususnya di Kota Ambon bersifat majemuk. Begitu pula dengan kedudukan peranan institusi adat yang perlu direvitalisasi dan dire-interpretasi sesuai aktualita kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Adalah sangat naif dan tidak logis apabila solusi di tingkat lokal menyamaratakan treatment kepada kelompok masyarakat yang bermukim di desa dan di kota. Sebab, struktur sosial budaya, ekonomi dan politik wilayah pedesaan sangat berbeda dengan perkotaan. Bagi wilayah pedesaan, dapat dilakukan penguatan kembali lembaga-lembaga adat seperti Pela dan Gandong serta berbagai hubungan kekerabatan lainnya untuk menciptakan jembatan komunikasi dan interaksi yang intensif antar kelompok masyarakat desa. Upaya penguatan ini harus dilakukan secara menyeluruh, dalam arti menghidupkan pula berbagai lembaga pendukung lainnya seperti penyesuaian atas eksistensi sistim pemerintahan adat, lembaga panas pela, dan lain-lain. Sementara itu, di daerah perkotaan, perlu dipikirkan suatu lembaga yang mampu menjembatani proses silahturahmi antar kelompok masyarakat di kota Ambon; disamping praktek kebijakan publik yang adil dan jujur dalam berbagai aspek pembangunan masyarakat.
Hak-hak dan kewajiban Anak Negeri – Orang Dagang/Pendatang berdasarkan adat yang tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, perlu dipertegas kembali. Hal ini dimaksudkan agar timbul rasa menghormati dan menghargai antar Anak Negeri maupun oleh Orang Dagang. Hal ini harus diikuti dengan pemberdayaan Anak Negeri dalam sektor ekonomi, karena asset yang dimiliki selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan cara demikian, diharapkan bisa meminimalkan gesekan sosial ekonomi, karena pilihan segmen pasar semakin terbuka atau meluas dan dapat dimasuki oleh berbagai lapisan masyarakat Anak Negeri. Apabila hubungan antar Anak Negeri dapat direhabilitasi, maka potensi konflik massal seperti yang terjadi saat ini dapat diredam meskipun ada provokasi misalnya yang dengan sengaja dilakukan oleh orang luar.
Apa yang disebutkan di atas perlu mendapat perhatian tidak saja dari Pemerintah daerah, tetapi juga oleh institusi agama yang mempunyai akses langsung kepada masyarakat dan berada di lini terdepan dalam pembangunan. Artinya, upaya pemberdayaan sumberdaya manusia lokal perlu didukung melalui peran institusi agama, paling tidak dalam rangka melakukan reorientasi nilai untuk menghadirkan ethos kerja yang bertumpu pada profesionalisme yang profitable tanpa mengabaikan prinsip atau nilai-nilai kebersamaan.
Ide tentang pemulangan pengungsi yang terlanjur pergi ke luar Maluku, perlu direspons dan diatur secara bijak. Hal ini dimaksudkan untuk mencari dan menemukan keseimbangan dan daya dukung lingkungan kota Ambon khususnya yang selama ini sudah terlewati. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Tingkat Kota Ambon perlu melakukan kajian yang mendalam agar bisa memperoleh gambaran yang ideal mengenai perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah. Upaya penanganan demikian dapat meminimalkan bentukan atau gesekan sosial ekonomi, karena akan tercipta keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungannya, termasuk dengan segmen pasar kerja.
Dalam rangka menghilangkan rasa curiga sekaligus menciptakan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka upaya penegakan hukum (law enforcement) di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya yang terkait dengan masalah kerusuhan, harus dilakukan tanpa pandang bulu. Sehubungan dengan ini, lembaga peradilan dan aparat penyidik harus mampu mandiri, bebas dari intervensi kepentingan politik, apalagi terpengaruh oleh kekuatan orang atau kelompok tertentu yang dengan sengaja ingin melakukan intervensi ke dalam proses penegakan hukum.
Untuk memfasilitasi upaya perdamaian, aparat Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan mampu menumbuhkembangkan manajemen isyu untuk merespons berbagai isyu negatif berpotensi destruktif yang sangat mungkin muncul dan mengganggu proses rekonsiliasi yang diupayakan. Sosialisasi kemajuan yang berhasil dicapai dalam upaya ini, perlu diteruskan kepada seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun desa, sekaligus menjaga hubungan dialogis dengan masyarakat agar mereka ikut merasa terlibat bersama-sama dengan aparat pemerintah dalam mengusahakan perdamaian di Maluku khususnya di kota Ambon.
Kemudian, hal yang tidak kalah pentingnya dan ikut mempengaruhi secara tidak langsung proses rekonsiliasi yang diusahakan adalah tanggung jawab (terutama) pemerintah dan masyarakat Maluku untuk bagaimana menciptakan suasana yang kondusif sambil meluruskan citra orang Ambon khususnya yang beragama Kristen yang terlanjur negatif di mata publik nasional. Sebab bagaimana pun, perlakuan diskriminatif yang akan dan mungkin sementara dialami oleh orang Ambon khususnya yang beragama Kristen di luar Maluku tidak dapat terus-menerus dibiarkan berlangsung, karena akan merangsang munculnya sentimen etnis dan agama yang berpotensi sebagai distorsi dalam proses rekonsiliasi bahkan bisa melahirkan masalah baru di kemudian hari. Oleh sebab itu, secara sistimatis dan intensif, perlu disebar-luaskan berbagai informasi yang tepat dan benar tentang masalah kerusuhan sebagai konsumsi publik umum (bukan sekedar untuk konsumsi intern pemerintah), sekaligus informasi mengenai kemajuan usaha-usaha perdamaian yang telah dicapai.
Hal lain yang perlu dilakukan guna mendukung proses rekonsiliasi yang diupayakan adalah, melakukan pemeriksaan secara ketat di pelabuhan Ambon terhadap arus migrasi yang masuk ke Kota Ambon dari berbagai wilayah di luar Maluku. Pendapat ini bertolak dari analisis yang menempatkan Ambon sebagai bagian integral dari skenario kerusuhan secara nasional. Melalui cara demikian, diharapkan rantai jaringan para perusuh dan provokator bisa diputuskan, sehingga penyelesaian kerusuhan Ambon dapat dilakukan dengan lancar.
Disadari pula bahwa kerusuhan Ambon telah bermuara pada sentimen balas dendam dari para korban. Ini berarti diperlukan terapi khusus yang terkonsepsi dan strategis terhadap para korban, sehingga bisa meminimalkan keinginan balas dendam yang hanya akan melahirkan masalah secara berkepanjangan. Beberapa langkah strategis yang disarankan untuk mengatasi kondisi psikologis ini adalah:
1. Melakukan penegakan hukum secara tegas dan bijaksana, tanpa pandang bulu. Implementasi law enforcement yang demikian, akan memberi rasa adil dan kepuasan dari para korban terhadap mereka yang secara nyata telah melakukan tindak kriminalitas. 
2. Mengusahakan peran pendampingan (konseling) dengan melibatkan berbagai kalangan yang berpotensi, dengan maksud merangsang kesadaran dan semangat hidup dari mereka yang menjadi korban kerusuhan baik karena kehilangan harta benda maupun nyawa. 
3. Meminta secara serius perhatian para pemuka agama untuk secara sistimatis melakukan pelayanan-pelayanan yang bersifat pastoral agar kehidupan umat khususnya para korban bisa memperoleh penghiburan. Dengan demikian, diharapkan pemulihan kondisi psikologis ini dapat membantu meredanya keinginan-keinginan balas dendam. 
7. Penutup.
Demikianlah pokok-pokok pikiran yang bisa diberikan dalam rangka ikut melengkapi berbagai konsep dan strategi lainnya yang dimaksudkan untuk "menjinakan" masalah kerusuhan di Maluku khususnya di Kota Ambon. Disadari bahwa, dengan keterbatasan ruang yang tersedia, beberapa ide atau konsep yang dikemukakan dalam pokok-pokok pikiran ini masih memerlukan proses elaboratif lebih lanjut. Oleh sebab itu harapan kami, semoga pokok-pokok pikiran ini bisa dimanfaatkan sebagai stimulasi untuk menemukan solusi yang lebih baik demi dan atas nama keutuhan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
Ambon, April 1999
 
 
1. DR. J. W. Ajawaila 2. Drs. M. J. Papilaya, MS
3. Drs. Tonny D. Pariela, MA 4. Pdt. F. Nahusona, STh
5. G. Leasa, SH. MH 6. Drs. T. Soumokil, MA
7. Drs. James Lalaun 8. Drs. W. R. Sihasale

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah blog ini berguna?