Kamis, 23 April 2009

PROPOSAL PENELITIAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

 

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh :
WWWWWW
WWWWW


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
 SURAKARTA 
2008


USULAN PENELITIAN HUKUM

Judul Penelitian :
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL 
Ruang Lingkup : Hukum Internasional

Pelaksana Penelitian 
1. Nama : WWWWWW
2. NIM : WWWWW
3. Progam Studi : Ilmu Hukum
4. Fakultas Universitas : Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pembimbing : PRASETYO HADI PURWANDOKO, SH., M.H.
  ERNA DYAH KUSUMAWATI, S.H., M.Hum.
Jangka Waktu : 3 Bulan

Biaya : Swadana

Tujuan : Terlampir

  Surakarta, November 2008
Pelaksana Penelitian
   


WWWWWWWW
  WWWWWW 
  Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II 



 
Prasetyo Hadi Purwandoko, SH.MH Erna Dyah Kusumawati,S.H.,M. Hum
NIP. 131 568 284 NIP. 132 304 948


   
A. Judul Penelitian : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PANGUNGSI INTERNASIONAL 
B. Ruang lingkup : Hukum Internasional
C. Latar Belakang Masalah 

Konflik bersenjata di Republik Demokratik Kongo adalah perang bersaudara berlangsung berkepanjangan di Kongo sejak 1998 yang menghancurkan serta menyeret seluruh wilayah tersebut dan negara-negara di sekitarnya. Aksi kekerasan tersebut telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut hingga akhirnya PBB mengambil alih permasalahan di negara itu dan memaksa Presiden Joseph Kabila menyelenggarakan Pemilihan Umum pada 30 Juli 2006. 

Konflik yang terjadi antara lain konflik Ituri yaitu konflik antara agrikulturalis Lendu dan peternak Hema di wilayah Ituri sebelah timur laut Republik Demokratik Kongo. Pertempuran bersenjata dimulai tahun 1996 dan masih berlanjut sampai sekarang. 
   
Kepala negara saat ini, Joseph Kabila (35) disebut-sebut merupakan calon terkuat dan sejumlah polling awal menyatakan Kabila akan menang dalam babak pertama pemilihan presiden. Kabila diperkirakan bisa mengalahkan 33 calon Presiden lain termasuk mantan pemimpin pemberontak Jean-Pierre Bemba, mantan pemberontak yang menjadi menteri keuangan dan dituduh melakukan kejahatan. Bemba telah melancarkan perang sengit tujuh tahun sejak 1998. Pada puncaknya, konflik di bekas negara Zaire itu, telah menyeret setidaknya tujuh kekuatan militer asing dan, meskipun ada serangkaian kesepakatan perdamaian dan proses peralihan berjalan sejak 2003, pergolakan etnik dan penjarahan terus mewabah bagian timur negeri tersebut. 

Calon lain meliputi keturunan tokoh kenamaan di negara bekas koloni Belgia itu, termasuk putra diktator lama Mobutu Seso Seko dan pahlawan kemerdekaan yang terbunuh Patrice Lumumba. Lumumba menang dalam pemilihan demokratis terakhir di negeri tersebut pada malam menjelang kemerdekaan 1960, tapi ia didepak oleh Mobutu yang membuat negara itu identik dengan korupsi dan salah urus sampai dia digulingkan pada 1997. 

Konflik-konflik yang terjadi di Republik Demokratik Kongo menyebabkan jumlah pengungsi yang selalu bertambah. Pada bulan November tahun 2004 lebih dari 1500.000 pengungsi, pada tahun 2008 jumlah pengungsi bertambah menjadi 200.000 pengungsi. Kondisi para pengungsi pun sangat memprihatinkan. Mereka memadati kamp-kamp pengungsian seperti di sekitar kota Goma, ibu kota Provinsi Kivu Utara, kamp pengungsian di Kibati. Lebih dari 1.000.000 orang yang kehilangan tempat tinggal akibat konflik tidak terjangkau bantuan. Mereka terjebak dalam pertempuran, bersembunyi, atau terisolasi di daerah yang dikuasai pemberontak. Pada tanggal 23 Januari 2008, sekitar 150.000 warga meninggalkan rumahnya akibat kekerasan yang terus berlanjut, termasuk aksi perkosaan itu. Sebagaian besar wanita dan anak perempuan korban pemerkosaan tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka. Para pengungsi mengalami kelaparan dan menderita berbagai macam penyakit seperti malaria, diare, pneumonia, dan gizi buruk sehingga sekitar 5.400.000 orang tewas. Para pengungsi hanya bisa menggantungkan hidup dari bantuan kemanusiaan. Warga pun harus mengantre untuk mendapatkan bantuan berupa bahan-bahan pokok serta obat-obatan (Kompas, 30 Juli 2008). Saat konflik berlanjut pada tanggal 13 November 2008 jumlah pengungsi bertambah 250.000 orang, pada tanggal 31 oktober 2008 kelompok separatis mendekati kamp pengungsi yang menyebabkan 50.000 pengungsi melarikan diri dari kamp-kamp pengungsian di beberapa wilayah seperti di kota Rutshuru, di timur Kongo. 

Untuk menangani masalah pengungsi, secara internasional terdapat aturan hukum pengungsi internasional dan hukum hak asasi manusia internasional baik berupa instrumen regional maupun instrumen internasional. Seperti The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees, The 1967 Protokol Relating to the Status of Refugees, the Convention Relating to the Status of Stateless Person (1954), Convention Governing the Specific Aspects of Refugees Problems In Africa (1969). Meskipun sudah ada instrumen-instrumen yang mengaturnya, selain konflik belum reda, permasalahan pengungsi pun masih belum dapat diatasi. Misalnya terlantarnya pengungsi, adanya perlakuan semena-mena terhadap pengungsi sehingga penulis tertarik untuk mepelajari, memahami secara lebih mendalam.  

Berdasarkan uraian tersebut di muka, melalui serangkaian penelitian, peneliti bermaksud untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pengungsi akibat konflik bersenjata di Republik Demokratik Kongo menurut hukum internasional, maka peneliti merumuskan dengan judul : 
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL”. 

D. Perumusan Masalah 
Setiap penelitian ilmiah yang akan dilakukan selalu berangkat dari masalah. Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran. Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfocuskan masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman terhadap permasalahan serta mencapai tujuan yang dikehendaki. 
Dalam penelitian ini, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut. 
Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pengungsi akibat konflik bersenjata di Republik Demokratik Kongo berdasarkan Hukum Pengungsi Internasional? 

E. Tujuan Penelitian 

Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan jelas. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pengungsi akibat konflik bersenjata di Republik Demokratik Kongo berdasarkan hukum pengungsi internasional.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan bagi pengungsi akibat konflik bersenjata di Republik Demokratik Kongo sudah sesuai dengan hukum pengungsi internasional atau belum. 

b) Tujuan Subyektif : 
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang pengungsi yang termasuk dalam hukum internasional khususnya mengenai Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi Akibat Konflik Bersenjata Di Republik Demokratik Kongo Menurut Hukum Pengungsi Internasional berdasarkan hukum internasional.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 

F. Manfaat Penelitian 

Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini antara lain : 

1. Manfaat Teoritis 

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, hukum internasional mengenai pengungsi pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 
 
2. Manfaat Praktis 
a. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan kemampuan peneliti dalam mengkritisi persoalan-persoalan hukum yang diharapkan dapat dipakai sebagai bahan evaluasi tentang permasalahan pengungsi baik oleh negara Indonesia maupun di dunia internasional. 
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman bagi pihak-pihak terkait yang tertarik terhadap persoalan pengungsi. 

G. Tinjauan Pustaka 

1. Kerangka Teori 
a. Pengungsi
1) Sejarah Pengungsi 

Masalah pengungsi adalah masalah klasik, karena keberadaannya dan terjadi dalam setiap peradaban umat manusia. Banyak contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan pengungsi, baik yang diceritakan dalam ajaran-ajaran agama, seperti pengungsian umat Israel dari Mesir ke tanah yang dijanjikan Tuhan pada zaman nabi Musa. Pengungsian Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat ke Madina. Bahkan contoh ekstrim adalah terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga ke dunia. Nabi Isa juga dianggap pengungsi. Dalam agama Hindu dikenal cerita tentang seorang tokoh bernama Ramayana yang juga dianggap sebagai pegungsi yang hidup dalam pengasingan (exile) yang ditinggalkan dalam hutan selama 14 tahun (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 55 ). 

Pada abad ke 17, dalam sejarah Amerika, perpindahan penduduk dari Inggris ke Amerika dan menempati daerah yang dikenal dengan nama “New England”, juga merupakan pengungsi. Perang Balkan (1912-1913) menimbulkan gelombang pengungsian ke bagian tenggara Eropa. Arus pengungsi ini terus berlanjut sampai Prang Dunia I. Pengungsi dari Rusia sebanyak 1,5 juta orang, sebagai akibat dari Revolusi Rusia pada tahun 1921. mereka mengungsi ke negara-negara lain di Eropa. Pengungsi Yahudi Jerman di tahun 1933 sebagai akibat dari bangkitnya faham Nazi di Jerman (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 55-56).  

Setelah itu muncul Perang Dunia II yang juga merupakan contoh hasil dari sebuah peradaban umat manusia, yang telah menimbulkan kesengsaraan terhadap umat manusia, exodus besar-besaran penduduk yang melintasi wilayah suatu negara mengilhami betapa perlunya pengaturan secara internasional. Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi merupakan salah satu bentuk keperdulian masyarakat internasional, terutama di Eropa pada waktu itu, terhadap penyelesaian masalah pengungsi. 

Kerawanan sosial, ekonomi, dan politik, dalam negeri di negara-negara di kawasan tertentu seperti Afrika, Amerika Latin, ataupun kawasan Asia bagian tenggara, terutama kawasan Indo-Cina menjurus kepada peruncingan bersenjata, terutama yang bersifat non-internasional. Pada abad ke 20 terjadi arus pengungsi yang berasal dari Indo-Cina, seperti pengungsi Vietnam, Laos, Kamboja yang banyak mencari perlindungan ke Amerika pada waktu rezim komunis mengambil kekuasaan di negara-negara itu. Manusia perahu merupakan bentuk pengungsi awal adab 20 yang lahir di kawasan Asia Tenggara. Juga penduduk Cuba yang mengungsi yang ke Amerika pada waktu Revolusi tahun 1959 yang membawa Fidel Castro memegang tampuk kekuasaan di negara-negara itu. Pengungsi Arab Palestina sebagai akibat diakuinya keberadaan negara Israel tahun 1948. pengungsi Punjab, Orang India Delhi, dan orang Pakistan di tahun 1947. Tahun 1971 tidak kurang 10 juta pengungsi dari Bangladesh ke India yang terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh). Pengungsi Afrika pada pertengahan tahun1960-an terjadi perang saudara yang memisahkan Salvador dan Guatelama mengajukan permohonan suaka (asylum) ke Amerika Serikat. Pengungsi Bosnia dan Kroasia dari Eks Yugoslavia (1992-1995). Pengungsi etnis Cina Indonesia pada waktu kerusuhan Mei 1998.

Pengungsi domestik pasca reformasi baru bahwa pengungsi itu tidak saja merujuk kepada mereka yang pergi melintasi batas negara tetapi mereka-mereka yang masih dalam wilayah satu negara juga disebut pengungsi dan memerlukan pengaturan yang khusus. Keadaan yang terakhir ini memerlukan adanya pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan pertolongan dan perlindungan terhadap mereka yang terlantar di dalam negeri mereka sendiri. Sementara perlindungan dan pertolongan dari negara induk masih sangat kurang bahkan tidak ada sama sekali. Petunjuk itu kemudian apa yang disebut dengan Guiding Principles on Internal Displacement atau Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal yang dikeluarkan oleh Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) (Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan ). 

Bertitik tolak dari perlindungan internasional terhadap para pengungsi di atas, dirasakan betapa perlu adanya suatu bidang hukum yang baru dalam hukum internasional yang berakaitan dengan pengungsi. Ada yang mengatakan bahwa Hukum Pengungsi Internasional merupakan cabang dari Hukum Hak Asasi Manusia.  

PENDAPAT AKUUU….
2) Pengertian Pengungsi 
a) Secara Harfiah 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman), pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi. adalah penduduk suatu negara yang pindah ke negara Pengungsi politik lain karena aliran politik yang bertentangan dengan politik penguasa negara asalnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerbit Balai Pustaka : 1995).

Berdasarkan pendapat di atas, terlihat bahwa pengungsi terjadi karena adanya bahaya. Misalnya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi juga bisa terjadi karena bencana buatan manusia (man-made disaster), seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kekebasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya. Mengungsi dapat dilakukan dalam lingkup satu wilayah negara ataupun ke negara lain karena adanya perbedaan haluan politik (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 35 ).

b) Pendapat Para Ahli
Pengertian pengungsi menurut para ahli :
(a) Malcom Proudfoot 

Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak secara jelas dalam memberiakn pengertian tentang pengungsi, pengertiannya yaitu :
“These forced movements, …werw the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombarment from the air and under the threat or pressure of advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of populations from coastal or defence areas underv military dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort’. (Achmad Romsan, Usmawadi, M. Djamil Usamy, Mada Apriandi Zuhir, 2003 : 36 ).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian, penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi; perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer di beberapa wilayah Eropa; pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang Jerman.

(b) Pietro Verri 

Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah ‘applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution’. (Achmad Romsan, Usmawadi, M. Djamil Usamy, Mada Apriandi Zuhir, 2003 : 36-37).  

Di sini pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Jadi terhadap mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai pengungsi menurut Konvensi Tahun 1951.  

  Pendapat AKUUU…
c) Pengertian Pengungsi dalam Instrument Internasional dan Regional 

Yang dimaksud dengan instrumen internasional disini adalah Statute of the office of the United Nations High Commissioner for Refugees, yang dikenal dengan sebutan Statuta UNHCR tanggal 14 Desember 1950; Convention on the Status of Refugees, tanggal 25 Juli 1951 dan mulai diberlakukan tanggal 22 April 1954, dan Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967, dan mulai berlaku tanggal 4 Oktober 1967, dan UN Declaration on Territorial Asylum of 1967. 

Selanjutnya, instrumen regional yang berkaitan dengan pengungsi adalah the 1928 Havana Convention on Asylum, the 1993 Montevideo Convention on Teritorial Asylum and Diplomatic Asylum, the 1951 Cartagena Declaration on Refugees(Achmad Romsan,dkk, 2003; 37). 
Pendapat akuuuu….
(1) Instrumen Internasional 

Instrumen Internasional yang dimaksudkan disini adalah ketentuan-ketentuan yang berlaku secara global. Adapun instrumennya terdiri atas :
(a) Menurut Statuta UNHCR 
Instrumen ini disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam Resolusi 428 (V), bulan Desember 1959. United Nations High Commissioner for Refugees (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi) di bentuk pada bulan Januari 1951. secara garis besar Statuta UNHCR ini terdiri dari tiga bab yaitu: 1. Ketentuan-Ketentuan Umum, 2. Fungsi UNHCR, 3. Organisasi dan keuangan. Dalam Ketentuan-Ketentuan Umum disebutkan mengenai fungsi UNHCR yaitu (Achmad Romsan,dkk, 2003 : 39-40) : 

 To promote the conclusions and ratification of international conventions, supervising their application and proposing amandements;
 To promote meansures to improve the situation of refugees and reduce the number requiring protection;
 To assist efforts to promote voluntary repatriation or local settlement;
 To promote the admission of refugees to territories of states;
 To facilitate the transfer of refugees assets;
 To obtain from Governments information concerning refugee numbers and conditions, and relevant laws and regulations;
 To keep in tauch with Governments and intergovernments organizations;
 To establish contact with private organizations; 
 To facilitate the coordination of their efforts. 


(b) Menurut Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees)

“As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular sosial group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”.  
(Pasal 1 Konvensi Tahun 1951).


Bahwa pengungsi adalah orang-orang yang berada diluar negaranya dan terpaka meninggalkan negara mereka karena adanya peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1951 dan adanya rasa takut yang sangat akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena pendapat politik yang dianut mereka. Bagi yang tidak memiliki warga negara, mereka berada yang di luar negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya, sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat, atau karena adanya rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak bermaksud untuk kembali ke negara tersebut. 

Dalam Konvensi tahun 1951 ini juga mengatur tentang “the exclusions clauses” dan the cessasion clauses”. Yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat diberikan status sebagai pengungsi yang termasuk dalam “the exclusions clauses” yaitu mereka-mereka yang telah memenuhi kriteria sebagai pengungsi namun mereka tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan perlindungan. Mereka adalah : 
 Orang-orang yang telah menerima perlindungan atau bantuan dari badan-badan atau lembaga-lembaga lain Perserikatan Bangsa-Bangsa selain dari UNHCR;
 Orang-orang yang telah menikmati hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara dimana dia tinggal;
 Orang-orang yang telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan; 
 Orang-orang yang telah melakukan pelanggaran yang serius terhadap hukum negara-negara common law sebelum mengajukan permohonan ke negara lain untuk mendapatkan suaka (asylum);
 Ataupun orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.(Achmad Romsan, Usmawadi, M. Djamil Usamy, Mada Apriandi Zuhir, 2003 : 40-41)

The cessasion clauses adalah seseorang yang tidak lagi dianggap sebagai pengungsi apabila, misalnya telah terjadi perubahan politik yang sangat mendasar di negara asalnya, dan kemungkinan mereka untuk membuat pemukiman baru di negara itu. Diterapkan untuk pengungsi dari Polandia, Cekoslovakia, dan Hongaria. (Achmad Romsan, Usmawadi, M. Djamil Usamy, Mada Apriandi Zuhir, 2003 : 42).

(c) Menurut Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967) 

Pengertian pengungsi terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Protocol tanggal 31 Januari 1967, yaitu :
“for the purpose of the present Protocol, the term “refugee” shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article 1 of the Convention as if the words “As a result of events occurring before 1 January 1951 and …”and the words”… a result of such events; in Article 1 A (2) were committed”. (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 42-43)

“… dikarenakan ketakutan yang beralasan akan menerima penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaanya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar Negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, tidak ingin kembali ke negaranya”.
(d) Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Asilium Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asylum 1967)

Dalam Deklarasi Suaka Territorial tahun 1967 ini memperluas efektifitas perlindungan internasional terhadap para pengungsi yang dimaksudkan untuk mengembangkan instrumen hukum internasional untuk para pengungsi dan juga untuk memastikan bahwa mereka diperlakukan khusus yang berkaitan dengan hak untuk bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen perjalanan.  

(2) Instrument Regional 
(a) Organization of African Unity (OAU) Convention
“owing to external aggression, occupation, foreign domination or event seriously disturbing public order in either part or the whole of his country of origin or nationality”. (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 44)

Pengungsi adalah orang-orang yang pergi meninggalkan negara tempat asal mereka karena adanya bencana perang saudara, kekerasan, dan juga karena adanya perang berhak untuk mendapatkan status sebagai pengungsi di negara-negara yang menjadi peserta konvensi tahun 1951 dengan tidak memperhatikan apakah adanya unsure rasa takut yang sangat akan persekusi sebagaimana diatur dalam Pasal I A Konvensi tahun 1951. 

Ketentuan ini mengandung ke lima kriteria yang harus dipenuhi untuk menentukan status pengungsi seseorang adalah : 
 Ketakutan yang beralasan 
 Penganiayaan 
 Alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaannya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya 
 Di luar negara kebangsaannya/bekas tempat menetapnya 
 Tidak dapat atau tidak ingin dikarenakan ketakutannya itu memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya.  

(b) Menurut negara-negara Amerika Latin 

Instrumen hukum yang pertama yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap para pengungsi adalah the 1928 Havana Convention on Asylum (Konvensi Havana tahun 1928 tentang Suaka), the 1933 Montevideo Convention on Political Asylum (Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Suaka Politik) dan the 1945 Caracas Conventions on Territorial Asylum and Diplomatic Asylum (Konvensi Karalkas tentang Suaka Teritorial dan Suaka Diplomatik tahun 1945). Kelemahan konvensi-konvensi di atas adalah tidak mengatur tentang peristiwa yang terjadi di tahun 1970-an dan 1980-an. Karena itu dalam Deklarasi Kartagena, memuat definisi pengungsi sama dengan definisi yang ada dalam Konvensi OAU. 

Dalam Deklarasi Kartagena definisi pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negara mereka dengan alasan jiwanya terancam, keamanan, serta kebebasan karena adanya kekerasan, agresi pihak asing, konflik internal, pelanggaran HAM yang berat, ataupun karena adanya hal-hal lain sehingga ketertiban umum terganggu. 
  
3) Pengertian Hukum Pengungsi Internasional 

Hukum Pengungsi Internasional (HPI) sering disingkat dengan sebutan Hukum Pengungsi yang merupakan cabang dari Hukum Hak Asasi Manusia (HukHAM) sama seperti Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kedua bidang ilmu hukum yang terakhir ini sama-sama menekankan kepada perlindungan manusia dalam situasi-situasi yang khusus, seperti pertikaian Pertanyaan yang mendasar adalah; “Apa itu Hukum Penggungsi”, “Apa-apa saja yang diatur di dalam Hukum Pengungsi”. Sebagai sebuah cabang dari ilmu hukum yang baru lahir dan masih berusia sangat muda, tentu saja definisi yang dikemukakan belum dapat memberikan kepuasan kepada setiap orang. Walaupun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Hukum Pengungsi Internasional itu adalah sekumpulan peraturan yang diwujudkan dalam beberapa instrumen-instrumen internasional dan regional yang mengatur tentang standar baku perlakuan terhadap para pengungsi.

4) Istilah-istilah yang Beerkaitan dengan Pengungsi 
(a) Migrant Economic (migran ekonomi) 
“person who, in pursuit of employment or a better over all standard of living (that is, motivated by economic considerations), leave their country to take up residence elsewhere”(Achmad Romsan, dkk, 2003 : 29).

Economic migrant adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat tinggal dimanapun. 
(b) Refugees Sur Place (Pengungsi Sur Place) 
“A person who was not a refugee when she left her country, but who became a refugee at a later date. A person becames a refugee sur place due to circumstances arising in her country of origin during her absence” (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 29).

Refugees sur place adalah seseorang yang tidak termasuk kategori pengungsi sewaktu dia tinggal di negaranya, tetapi kemudian menjadi pengungsi dikarenakan keadaan yang terjadi di negara asalnya selama dia tidak ada.
(c) Statutory Refugees (Pengungsi Statuta) 
“persons who meet the definitions of international instrumens concerning refugees prior to the 1951 Convention are usually referred to as “statutory refugees”. 

Statutory refugees adalah orang-orang yang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen internasional sebelum tahun 1951. Istilah ini hanya dipakai untuk membedakan antara “pengungsi sebelum konvensi 1951” dengan “pengungsi menurut Konvensi 1951”. 
(d) War Refugees (Pengungsi Perang) 
“persons compelled to leave their country of origin as a result of international or national armed conflicts are not normally considered refugees under the 1951 Conventions of 1967 Protocol. They do, however, have the protection provided for in other international instrumens, i. e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the case of forces invasion and subsequent occupation, occupying forces may begin to persecute segments of the populations. In such cases, aslyum seekers may meet the conditions of the Convention definition”(Achmad Romsan, dkk, 2003 : 29).. 

War refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan Negara asalnya akibat pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau nasional yang tidak dianggap pengungsi biasa menurut Konvensi 1951 atau Protokol 1967. Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan menurut instrumen internasional yang lain, yakni Konvensi-Konvensi Jenewa 1949.  
(e) Mandat Refugee (Pengungsi Mandat) 
Mandat dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yang diakui statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandate yang ditetapkan oleh Statuta UNHCR. Istilah pengungsi mandate dipergunakan terhadap para pengungsi yang berada di bawah kewenangan atau mandate UNHCR, seperti : 
 Orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR, dimanapun mereka berada, sebelum berlakunya Konvensi 1951 pada 22 April 1964 dan/sebelum berlakunya Protokol 1967 pada 4 Oktober 1967, 
 Orang-orang yang diakui sebagai Pengungsi oleh UNHCR yang berada di luar Negara-negara Pihak pada Konvensi 1951 (sesudah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4 Oktober 1967).  
Pengungsi Mandat adalah seseorang yang memenuhi kriteria Statuta UNHCR, sebagai pengungsi dan oleh karenanya mendapat perlindungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, baik yang bersangkutan berada di dalam atau di luar Negara Peserta Konvensi 1951 atau Protokol 1967 (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 31).
(f) Statute Refugee (Pengungsi Statuta) 
Pengungsi Konvensi dipergunakan untuk menunjuk pada orang-orang yang berada di dalam wilayah Negara-negara Pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya Konvensi 1951 sejak 22April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya protocol ini sejak 4 Oktober 1967), yang statusnya sebagai pengungsi diakui oleh Negara-negara Pihak Konvensi 1951 dan/atau Protokol 1967 berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kriteria yang ditetapkan oleh instrumen-instrumen tersebut. 
Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen sebelum tahun 1951. 
(g) Internally Displaced Person/IDPs (Pengungsi Dalam Negeri) 
Istilah Internally Displaced Persons/IDPs digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan UNHCR pertama kali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena terjadi konflik bersenjata internal di Negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah Negara mereka sendiri. Istilah ini dipakai sampai pada tahun 1974. 

UNHCR mengartikan istilah Displaced Persons/DPs sebagai orang-orang yang karena konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat-tempat lain yang lebih aman, tetapi masih di dalam wilayah negara mereka sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan Perserikatan Bangsa-Bangsa memakai istilah ini untuk merujuk orang-orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain yang dirasanya aman, sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya, tetapi yang (sudah) berada di luar perbatasan Negara asalnya. Untuk displaced persons dalam pengertian semula (tetap masih berada dalam wilayah negara yang sama), dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally Displaced Persons/IDPs. 
Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1975 yang memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang-orang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam “kondisi seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang sebagai “bencana buatan manusia”) yang timbul dalam negara asal mereka. 
Dalam Guilding Principles on Internal Displacement, angka 2: pengantar, memuat pengertian dari istilah Internally Displaced Persons (IDPs) sebagai berikut : 
“…internally displaced persons are persons or groups of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or humanmade disasters, and who have not crossed an internationally recognized tate border” (Achmad Romsan, dkk, 2003 : 32-33).

Jadi internally displaced persons adalah orang-orang atau sekelompok orang yang dipaksa atau diharuskan meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka, terutama sebagai akibat atau disebabkan konflik bersenjata, dalam situasi terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusaia atau peristiwa alam atau karena perbuatan manusia, dan tidak menyeberang perbatasan negara yang diakui secara internasional. 
(h) Stateless Persons (Orang-orang tanpa Warga Negara) 
Stateless Persons adalah “persons who either from birth or as result of subsequent changes in their country of origin are without citizenship”. 

Jadi orang yang termasuk stateless persons adalah setiap orang baik sejak kelahiran atau akibat perubahan di dalam Negara asalnya menjadi tanpa kewarganegaraan. Berarti ada dua penyebab seseorang dapat menjadi tidak bernegara, yaitu sejak lahir atau akibat perubahan dalam Negara asalnya. Upaya internasional dalam rangka mengurangi “stateless persons” sudah ada yaitu melalui “The Convention on the Reduction of Statelessnes (1961)”. Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam suatu Negara yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang kehilangan kewarganegaraan adalah peristiwa succession of state atau suksesi negara. Menurut Ian Bronwlie bahwa ‘State succession arises when there is a definitive replacement of sovereignty over a given territory in conformity with international law’. Untuk menghindari seseorang kehilangan kewarganegaraan dalam peristiwa suksesi Negara, Resulosi Majelis Umum 55/153 mengenai “Nationally of natural persons in relation to the succession of States” dalam pasal 1 yaitu : 
‘ Every individual who, on the date of the succession of States, had the nationality of the predecessor State, irrespective of the mode of acquisition of that nationality, has the right to the nationality at least one of the State concered…..’ 

Berdasarkan resolusi ini, maka setiap orang yang pada saat terjadi suksesi negara, berkewarganegaraan dari negara lama (predecessor state) memiliki hak atas kewarganegaraan dari salah satu Negara yang tersangkut. Maksudnya orang yang bersangkutan dapat memilih kewarganegaraannya baik dari negara lama atau Negara pengganti (successor state). Pilihan ini, tentunya untuk menghindari agar seseorang tidak kehilangan kewarganegaraan dan akan menjadi seorang “stateless persons”. 
PandangN kuuu…
5) Aturan-aturan Hukum Pengungsi 
(a) Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 (The 1961 Convention on the Reduction of Stateless Persons ) dan Protokol Tahun 1967 Tentang Status Pengungsi 
Antara Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 Tentang Status Pengungsi mengandung tiga ketentuan ;
i. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian pengungsi,
ii. Ketentuan yang mengatur tentang status hokum pengungsi termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap,
iii. Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif maupun diplomatik.
(b) Instrumen lain yang mendukung : 
i. The Convention Relating to the Status of Stateless Persons (1954) yang mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara. 
ii. The Convention on the Reduction of Statlessness (1961) mengatur tentang pengurangan terhadap jumlah orang-orang yang tidak memiliki warga negara pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap anak-anak mereka yang lahir di negara itu. 
iii. The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War (1949) mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang.
iv. The 1967 Unatied Nations Declaration on Territorial Asylum (1967) bertujuan memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk menyelaesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan. 
Secara garis besar antara Konvensi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967 mengandung tiga ketentuan dasar (Achmad Romsan, dkk, 2003; 87) :
i. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian pengungsi 
ii. Ketentuan yang mengatur tentang status hukum pengungsi termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap 
iii. Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif maupun diplomatik.

6) Prinsip-prinsip Hukum Pengungsi
a). Prinsip Suaka (Asylum) 
Pada tahun 1967, Majelis Umum PBB menerima Deklarasim tentang Suaka Teritorial yang ditujukan terhadap negara-negara. Deklarasi mengulangi pernyataan bahwa pemberian suaka merupakan tindak damai dan humaniter yang tidak dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak bersahabat oleh negara mana pun, dan mencatat bahwa merupakan tanggung jawab negara suaka untuk menilai klaim suaka seseorang. 

Pencari suaka adalah seseorang yang mencari perlindungan internasional sebagai individu atau secara berkelompok. Di Negara dengan produser individu, pencari suaka adalah seseorang yang permohonannya belum diputuskan oleh negara di mana orang tersebut mengajukan permohonannya. Setiap permohonan suaka belum tentu dikabulkan sebagai pengungsi, tetapi setiap pengungsi awalnya adalah pencari suaka (UNHCR,2005:12).
“ Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain dari persekusi” (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 14).

Sebagaimana diakui dalam Konvensi OAU (Organization of African Unity), Deklarasi Kartagena, dan Deklarasi PBB tentang Suaka Teritorial, 1967, pemberian suaka adalah tindakan humaniter internasional dan bersifat politis. 
Kata “suaka” tidak didefinisikan dalam hukum internasional, tetapi kata tersebut telah menjadi istilah paying bagi keseluruhan perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada pengungsi di wilayahnya, suaka berarti, paling tidak, perlindungan pokok-yakni, tidak dikembalikan secara paksa (refoulement) ke perbatasan wialyah dimana hidup atau kebebasan pengungsi tersebut akan terancam untuk sementara waktu, dengan kemungkinan tinggal di negara penerima sampai solusi di luar negara itu dapat dikemukakan. Di banyak negara hal ini berarti lebih banyak yakni inkorperasi hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Konvensi 1951 dan bahkan lebih jauh. 
b). Prinsip Non-Refoulement 
Adalah suatu prinsip dimana tak satu orang pengungsi pun boleh dipulangkan kembali ke suatu negara di mana kehidupan atau kebebasannya akan terancam atas dasar perbedaan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau keyakinannya akan haluan politik tertentu; atau dimana didapati alasan untuk mempercayai bahwa dia akan menghadapi bahaya untuk mendapat siksaan. 
“Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir atau mengembalikan (refouler) pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaanya dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politiknya” (Konvensi tentang Status Pengungsi 1951, pasal 33 ayat (1)).
 
Prinsip non-refoulement : 
(1) Melarang pengembalian pengungsi dengan cara apapun ke negara atau wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, 
(2) Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan merupakan ancaman bagi keamanan nasional telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang serius, berbahaya bagi masyarakat; namun tidak berlaku jika individu tersebut menghadapi risiko penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau menghinakan,
(3) Sebagai bagian dari hukum adat dan hukum traktat, prinsip dasar ini mengikat semua negara. 
Pndpt kuwh ttg ini….
c). Hak dan kewajiban Negara terhadap para pengungsi 
Hak-hak krusial bagi Perlindungan Pengungsi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 : 
(1) Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan pribadi 
(2) Hak mencari dan menikmati suaka 
(3) Hak atas pengadilan yang jujur 
(4) Hak berkenaan kehidupan pribadi dan keluarga 
(5) Hak untuk menikah 
(6) Hak untuk mendapatkan upaya hukum di tingkat nasional 
(7) Hak untuk memperoleh pendidikan 
(8) Hak ikut serta dalam kehidupan budaya komunitas 
(9) Hak pengakuan sebagai pribadi di depan hukum 
Sedangkan kebebasan-kebebasan yang didapat adalah : 
(a) Kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat kemanusiaan 
(b) Kebebasan dari perbudakan atau perhambaan 
(c) Kebebasan pikiran, keyakinan, dan agama 
(d) Kebebasan dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 
(e) Kebebasan dari interfensi sewenang-wenang dalam privasi rumah, dan keluarga 
(f) Kebebasan mendapat dan menyatakan pendapat 

 Kewajiban pengungsi adalah :
i. Membuat dokumen perjalanan sebagai bukti sehingga ia dapat diperlakukan selayaknya yang tercantum dalam Konvensi 1951. di beberapa negara dokumen perjalanan ini diberikan secara otomatis begitu status pengungsi seseorang disetujui, namun karena biaya administrasi mahal maka banyak Negara hanya memberikan dokumen ini berdasarkan permintaan. 
ii. Wajib mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara pengungsiannya serta memelihara ketertiban umum (Pasal 2).
d). Kemudahan-kemudahan (facilities) yang diberikan oleh negara-negara yang bersangkutan terhadap pengungsi ; 
(1) Memberikan dokumen identitas 
(2) Memberikan dokumen perjalanan 
(3) Kebutuhan dasar dan manfaat sosial 
(4) Konseling sosial  
(5) Bantuan hokum yang diperlukan 

b. Konflik Bersenjata 
1) Pengertian 
2) Kategori Konflik 
3) Penyebab Konflik 


a. Konflik Bersenjata 
1) Pengertian 
Ada berbagai macam pendapat para pakar mengenai konflik bersenjata atau armed conflict sangat beragam. Dapat diambil contoh, pendapat dari (Haryomataram, 2002 : 1) : 

Pictet, yang menyatakan : 
“the term armed conflict has been used here in additionto the word war which it is tending to supplant”.

 Edward Kossoy yang menyatakan : 
“As a;ready mentioned, the term armed conflict tends to replace, at least in all relevant legal formulations, the older notion of war on purely legal consideration the replacement of war by armed conflict seem more justified and logical”. 
  
Rosenbland menyatakan : 
  “the term international armed conflict it is used here in the same traditional sense as that used by Oppenheim-Lauterpacht in their definition of an interstate war. In their words is contention between overpowering each other, and imposing such conditions of peace as the victor please”. 
  
Dari pendapat para pakar diatas, tidak dapat diketahui pasti arti satu definisi yang sebenarnya dari konflik bersenjata namun dapat disimpulkan bahwa armed conflict itu adalah sama dengan war, namun kiranya dapat dikatakan bahwa kedua istilah ersebut dapat diberi arti yang sama. 
Dalam Commentary Konvensi Jenewa 1949, pengertian konflik bersenjata atau Armed Conflict adalah (Prof. KGPH. Haryomataram,SH,2002:2). 
  
“Any difference arising between two States and leading to the intervention of membes of the armed forced is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of a state of war. It makes no difference how long the conflict lasts or how much slaughter takes place. Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of a state of war. It makes no difference how long the conflict l lasts or how much slaughter takes place”. 

 Sedang Hans Peter Gasser menyatakan : 
 “when can an armed conflict be said to obtain? The convention themselves are of no help to us here, since they contain no definition of the tern. We must therefore look at state practice, according to which any use of armed forced by one state against the territory of another triggers the states. Why force was used is of no consequence to the international humanitarian law”. 

 Seorang pakar lain, Dieter Fleck, menyatakan (Haryomataram,2002:3) : 
 Án international armed conflict if one party uses force of arms against another party. The use of military forced by individual person or group of person will not suffice. It is irrelevant whether the parties to the conflict consider themselves to be at war with each person and how they describe this conflict”. 

 Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan juga bahwa agar dapat dikatakan sebagai armed conflict maka harus ada penggunaan armed conflict dari salah satu atau kedua pihak terhadap pihak lainnya. Tidak perlu dipertimbangkanapakah salah satu atau kedua pihak menolak adanya apa yang disebut state of war. Demikian juga lamanya konflik itu berlangsung, dan berapa korban yang telah jatuh tidak perlu diperhatikan. 

2) Kategori Konflik 
Pengertian armed conflict yang sangat luas mengakibatkan timbulnya beberapa sistematik untuk lebih merinci atau menjabarkan pengertian dari armed conflict. 
Sistematik pertama dikemukakan oleh Starke yang disebut Status Theory. Starke membagi armed conflict menjadi dua, yaitu (Haryomataram) : 
a) War proper between states dan
b) Armed conflict which are not of the character of war 
Sistematik kedua dikemukakan oleh Schindler yang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol 1977 (Haryomataram, 2002:4) : 
a) International Armed Conflict 
b) War of National Liberation 
c) Non International Armed Conflict according to art 
d) Non International Armed Conflict according to Protocol II 1977 
Dalam Hukum International ada tiga bentuk Non International armed conflict :
a) Civil Wars (Sebelum ada pengakuan sebagai Belligerent)
b) Non International Armed Conflicts within the meaning of art 3 of the Geneva Conventions
c) Non International Armed Conflicts in the sense of Protocol II 1977


Sistematik ketiga dikemukakan oleh Shigeki Miyazaki (Haryomataram, 2002:0) : 
a) Konflik bersenjata antara pihak peserta Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 Pasal 2 ayat (1) Konvensi Jenewa, dan Pasal 1 ayat (3) Protokol 1.
b) Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa/Authority) de facto, misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional, yang telah menerima Konvensi Jenewa dan atau Protokol. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Martens Clause, Protokol II (penguasa/Authority). 
c) Konflik bersenjata antara pihak peserta negara dengan bukan pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara/penguasa de facto) yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol I. Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Martens Clause, Protokol II (penguasa/ Authority).
d) Konflik bersenjata antara dua negara bukan pihak peserta (non Contracting Parties) Pasal 2 ayat (4) Konvensi Jenewa, Pasal 3 Konvensi Jenewa (penguasa), Martens Clause, Protokol II (penguasa). 
e) Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan), Pasal 3 Konvensi Jenewa, Protokol II, Hukum Internasional Publik. 
f) Konflik bersenjata yang lain, Konvenan internasional HAM, hukum publik (hukum pidana). 
  
Sistematik keempat dikemukakan oleh Haryomataram yang membagi konflik bersenjata sebagai berikut (Haryomataram, 2002:7) :
a) Konflik bersenjata internasional 
i) Murni 
ii) Semu 
aa) perang Pembebasan Nasional (War of National Liberation) 
bb) Konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir  

b) Konflik bersenjata non internasional 
i) Tunduk pada Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
ii) Tunduk pada Protokol Tambahan II tahun 1977 

  Dari Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata dibedakan menjadi tiga yaitu : 
a) Konflik Bersenjata Internasional 
Dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 berbunyi sebagai berikut : 
“ In addition to the provisions which shall be implemented in peace time the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognised by one of them…” 

Walaupun dalam pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 tidak dijelaskan secara ekplisit apa arti dari Konflik Bersenjata Internasional, namun dapat diketahui bahwa subyeknya adalah negara. 

Dalam Protokol Tambahan 1977 Pasal 1 ayat 4 berbunyi : 
“ The situations referred to in the preceding paragraph include armed conflicts in which peoples are fighting againts colonial domination and alien occupation and against racist regimes in the exercise of their right of self determination, as enshrined in the Charter of thr United Nations and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations”. 

  Dari Pasal diatas maka perang melawan pemerintah penjajah (fighting against colonial domination), Perang melawan pemerintah pendudukan (alien occupation), dan perang melawan pemerintah yang menjalankan rezim rasialis (against racist regimes) dikatakan sebagai perang kemerdekaan (war of national Liberation). Perang kemerdekaan dapat dikatakan sebagai car conflict. Akan tetapi tidak semua car conflict dapat dikatakan sebagai Konflik Bersenjata Internasional, karena syaratnya adalah harus ada deklarasi yang universal yang dikeluarkan oleh penguasa yang sah, yang mewakili rakyat yang berhadapan dengan pemerintah penjajah/penduduk/rezim rasialis sebagai bentuk persyaratan diri terikat oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Protokolnya. Hal ini diatur dalam Pasal 96 ayat 3 Protokol Tambahan I 1977. 

b) Konflik Bersenjata Non Internasional 
 Dalam hal Konflik bersenjata non internasional, diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 yang menyatakan : 
“Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak peserta agung, tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut : 
 “ Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu”. 
 
Dalam Protokol Tambahan II 1977 juga tidak ada pengertian ataupun definisi yang pasti tentang konflik bersenjata non internasional. Namun dalam pasala 3 Konvensi Jenewa 1949 lebih menekankan pada para pihak peserta agung untuk memperlakukan para korban akibat konflik bersenjata secara manusiawai dan tanpa diskriminasi. 
 
Namun ada beberapa kriteria-kriteria tentang konflik bersenjata non internasional adalah sebagai berikut : 
i. Pertikaian terjadi di wilayah pihak peserta agung,
ii. Pertikaian terjadi antar angkatam bersenjata pihak peserta agung dengan kekuatan-kekuatan bersenjata pihak yang memberontak (dissident),
iii. Kekukatan bersenjata pihak yang memberontak ini harus berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab,
iv. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara sehingga dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut,
v. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol II 1977

c) Internal Disturbance and Tensions 
 Suatu keadaan dapat diartikan sebagai kekacauan dalam negeri atau internal tension adalah apabila jka terjadi kerusuhan berskala besar, tindakan terorisme adan sabotase yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka, serta adanya penyanderaan. 
 
 Apabila ketegangan dalam negeri benar-benar terjadi dalam suatu negara, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional dari negara itu sendiri. 

3) Penyebab Konflik 
Ada beberapa faktor yang bisa kita analisa sebagai penyebab atau paling tidak bisa pemicu terjadinya suatu konflik : 
a) Faktor pertama adalah karena ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer kekuatan (power showing). Faktor ini juga termasuk faktor penting penyebab konflik politik (revolusi, kudeta) ataupun fenomena ethnic cleansing dan genocide yang beberapa dekade ini cukup marak di dunia (Serbia-Bosnia, Serbia-Kosovo, Tutsi-Hutu di Rwanda).
b) Kedua, konflik dan perang adalah bisnis model baru yang sangat menguntungkan
c) Faktor ketiga adalah faktor kemiskinan, ketidakadilan dan gap sosial yang terlalu besar (Romi Satrio Wahono).

2. kerangka Pemikiran
Berdasarkan pada proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka dan paparan latar belakang di atas, dalam kaitannya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, dapat peneliti sajikan bagan kerangka pemikiran yang tentunya akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih riil mengenai alur berpikir peneliti dalam menyusun penelitian ini.




















































KETERANGAN:

Dalam kehidupan manusia, perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu kebudayaan duna yang paling tua di muka bumi ini. Bahkan perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu jalan dalam menyelesaikan konflik di dunia. Perang ataupun konflik bersenjata selalu menimbulkan kerugian yang besar bagi manusia, baik bagi negara yang memenangkan peperangan atau negara yang kalah dalam peperangan. Dampak yang paling besar adalah munculnya orang-orang atau penduduk yang mengungsi. Banyak yang mengungsi akibat konflik bersenjata. 
Kondisi pengungsi rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang baik di negara asal ataupun di negara persinggahan maupun di negara tujuan dikarenakan mereka tidak dibekali dengan dokumen perjalanan. Perlakuan yang umum terjadi terhadap para pengungsi seperti penyikasaan, pemerkosaan, diskriminasi, dan dipulangkan secara paksa (refoulement). Kesemuanya itu menjurus kepada pelanggaran hak-hak individu manusia. Sehingga diperlukan adanya perlindungan hukum secara internasional bagi pengungsi. Begitu pula konflik bersenjata yang terjadi di Republik Demokratik Kongo. Para pengungsi yang muncul akibat konflik bersenjata yang terjadi di Republik Demokratik Kongo pun wajib dan berhak mendadpat perlindungan hukum internasional. 
Hal inilah yang membuat negara-negara internasional membuat peraturan-peraturan untuk para pengungsi agar mereka terlindungi. Aturan tersebut adalah hukum pengungsi internasional yaitu Konvensi 1951, Protokol Tambahan dan instrumen-instrumen pendukung baik instrument regional maupun instrumen nasional seperti DUHAM 1948 (29 Pasal), Piagam PBB tentang perlindungan HAM). 
Aturan-aturan tersebut tentunya harus berunsur dari prinsip-prinsip Hukum Pengungsi Internasional. Prinsip-prinsip Hukum Pengungsi Internasional yaitu : 
a) Suaka
b) Non Refoulement 
c) Hak dan kewajiban negara terhadap para pengungsi 
d) Kemudahan/fasilitas yang diberikan oleh Negara yang bersangkutan terhadap pengungsi. 
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin meneliti tentang perlindungan hukum pengungsi akibat konflik bersenjata yang terjadi di Replubik Demokratik Kongo berdasarkan hukum pngungsi internasional. 

H. Metode Penelitian 
Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan metodologi yang tepat. Dan metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Suatu metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data yang akurat, lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Adapun metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :  

1. Jenis Penelitian 
Dalam penyusunan penelitian hukum ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : 15). 
Dalam penyusunan penelitian hukum ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu peneliti tidak perlu mencari data ke lapangan, penelitian cukup dilakukan di perpustakaan. Sehingga dalam penelitian normatif ini tidak memerlukan populasi ataupun sampel. Disamping itu juga tidak diperlukan data primer melainkan data yang diperlukan adalah data sekunder. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu terhadap data-data sekunder (Rony Hanintjo Soemitro, 1985: 24).  





2. Sifat Penelitian 
Dalam melakukan penelitian hukum ini, sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gajala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka penyusunan dapat memperkuat teori-teori lama didalam kerangka penyusunan kerangka baru (Soerjono Soekanto. 2001: 10). Dalam penelitian ini peneliti ingin menemukan dan memahami bagaimanakah PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL berdasarkan Hukum Pengungsi Internasional. 
3. Jenis Data 
Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka, berupa keterangan-keterangan atau pengetahuan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan dokumenter, koran dan lain-lain.

D. Sumber Data 
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat secara yuridis yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri : 
 Menurut Statuta UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees (Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi) di bentuk pada bulan Januari 1951.
 Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees)
 Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967) 
 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Asilium Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asyylum 1967) 
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang tidak mengikat yaitu bahan hukum yang membantu memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer terdiri dari : 
1) Kepustakaan yang ada hubungannya dengan hukum pengungsi
2) Kepustakaan yang ada hubungannya dengan konflik bersenjata 
3) Kepustakaan penelitian terdahulu  
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari : 
1) Kamus hukum/Black Law Dictionary
2) Ensiklopedia.

E. Teknik Pengumpulan Data 
Dalam penelitian ini, pengumpulan data mempergunakan teknik peneltian kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan mengkaji bahan-bahan yang bersangkutan dengan masalah dalam penelitian ini. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan kepustakaan, membacanya, dan membuat catatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini sesuai dengan jenis penelitian penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. 

F. Teknik Analisis Data 
Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan serta menghasilkan jawaban dari permasalahan maka perlu suatu bentuk teknik analisis data yang tepat. Penganalisaan data merupakan tahap yang penting karena pada tahap ini data yang terkumpul yaitu data yang berupa data sekunder, maka peneliti berusaha mengolah dan menganalisanya. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode deduksi, yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar yang kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti (Peter Mahmud, 2005:42). Metode deduksi adalah prosedur penyimpulan logika ilmu pegetahuan, yaitu bertolak dari suatu proporsi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada kesimpulan yang bersiat lebih khusus, yaitu PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL berdasarkan Hukum Pengungsi Internasional. 

G. Jadwal Penelitian 

No Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III
1 Proposal  
2 Pengumpulan Data  
3 Analisis Data  
4 Penyusunan Laporan  










H. Sistematika Penelitian Hukum  
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penelitian karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penelitian ilmiah, maka peneliti menyiapkan suatu sistematika penelitian hukum. Adapun sistematika penelitian hukum terbagi dalam 4 ( empat ) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini meliputi : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian Hukum.  

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan kajian pustaka dan teori yang berkenaan dengan judul dan masalah yang diteliti ulang meliputi : Tinjauan Umum Tentang Sejarah Pengungsi, Pengertian Pengungsi, Pengaturan tentang Pengungsi, istilah yang Berhubungan dengan Pengungsi, Prinsip-prinsip hukum pengungsi, Tinjauan Umum tentang Konflik Bersenjata meliputi pengertian, kategori, dan penyebab konflik.

 BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, maka dalam bab ini disajikan mengenai PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL berdasarkan hukum internasional, serta PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO MENURUT HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL,

BAB IV: PENUTUP
Dalam bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN








DAFTAR PUSTAKA

Achmad Romsan, dkk, 2003. Pengantar Hukum Pengumgsi Internasional, Bandung : Sanic Offset. 

Haryomataram. 2002. Konflik Bersenjata dan Hukumnya. Jakarta: Universitas TRISAKTI. 

Jastram Kate dan Achlron, 2001. Perlindungan Pengungsi Buku Petunjuk Hukum Pengungsi Internasional.

Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995. Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerbit Balai Pustaka. 

Peter Mahmud Marzuki, 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Pres). 

UNHCR, 2005. Pengenalan tentang Perlindungan Internasional melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR.


Peraturan Perundang-undangan 
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Asilium Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asyylum 1967). 

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 
Guilding Principles on Internal Displacement.
Instrumen Regional Organization of African Unity (OAU) Convention.
Instrumen regional tentang Pengungsi seperti Afrika, Eropa, dan Amerika Latin.
Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees).

Protokol Tanggal 31 Januari 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967).

Resulosi Majelis Umum 55/153 mengenai “Nationally of natural persons in relation to the succession of States.

The Geneva Convention of 1949 Relating to the Protection of Civillian Persons in Time of War.

The 1928 Havana Convention on Asylum (Konvensi Havana tahun 1928 tentang Suaka).

The 1933 Montevideo Convention on Political Asylum (Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Suaka Politik).

 The 1945 Caracas Conventions on Territorial Asylum and Diplomatic Asylum (Konvensi Karakas tentang Suaka Teritorial dan Suaka Diplomatik tahun 1945).

The 1977 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 Agustust 1949. 
The 1967 Unated Nations Declaration on Territorial Asylum. 
Website :
www.kompas.com, Surakarta 30 Juli 2008
www.hrw.com , Surakarta, 20 November 2008 
www.refworld.org, Surakarta, 22 Desember 2008
www.unhcr.org, Surakarta, 20 November 2008
www.wikipedia.com, Surakarta, 20 November 2008




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apakah blog ini berguna?