Senin, 18 Mei 2009

MAKALAH Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya

1. Pendahuluan.

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.

Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF. 

Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain.

Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya.

Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi factor penyebabnya. Keadaan ini bukan mustahil Indonesia dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan pencucian, dan akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji lebih mendalam tentang faktor apa saja yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang begitu lemah.

Pengakajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang. 


2. Mengapa praktik pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi pemberantasannya.

Untuk melihat faktor yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum terhadap ketentuan anti pencucian uang di Indonesia, perlu melihat kembali pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi pencucian uang atau mengapa praktik pencucian uang harus diberantas.

Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada walnya karena desakan Internasional bukan karena kesadaran pentingnya pemberantasan pencucian bagi Indonesia,[3] praktik pencucian uang adalah suatu jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan hasil kejahatannya. Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan nadi bagi kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.[4]

Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan subsatansi psichotropika. Maka kriminalisasi pencucian uang semula hanya dirahkan untuk memberantas perdagangan narkotika dan sejenisnya seperti yang tercantum dalam United Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 (The Vienna Convention).

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara international.

Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.[5] Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).

Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.[7] Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan.

[8] Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna:

“…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears.).[9]

Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan.[10]

Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbul pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum.

Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya oleh para pelaku pencucian uang inilah yang memunculkan fenomena cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak.

Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatmen of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya.

Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global. Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan[11] serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu.[12]

Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifat sophisticated crimes.

[13] Kesulitan pemberantasan akan semakin meningkat manakala kejahatan pencucian uang berubah sifatnya sebagai cyber crimes (cyber laundering) dengan menggunakan offshore banking (crimes).

3. Kelemahan dalam Penegakan hukum ketentuan anti pencucian uang di Indonesia.

Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantu pada beberapa factor yaitu bagaimana formulasi undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya propfesionalitas para penegak hukum lebih dominan dibanding dua faktor yang lain.

A. Kelemahan dari formulasi perundangan. 

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang.

Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya.

Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas.

Dari kekhasan jenis kejahatan ini telah melahirkan berbagai definisi tentang pencucian uang, yang ternyata tidak ada satupun yang bersifat universal serta koprehensif. Hal ini Nampak dalam pernyataan[14]:

“There is no universal or comprehensive definition of money laundering XE “money laundering” . Prosecutors and criminal intelligence agencies, businesspersons and companies, developed and developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of persecution are narrower than definitions for intelligence purposes.”

Dari berbagai definisi yang dibuat masing-masing negara bukan berarti berbeda sama sekali tetapi terdapat standar minimumnya berkaitan dengan kriteria kejahatan ini, dan terutama untuk kepentingan dilakukannya mutual legal assistance. Artinya bahwa masing-masing negara boleh saja tidak menyeragamkan definisi namun paling tidak terdapat standar yang harus diatur yaitu berkaitan dengan adanya unsur-unsur intent (maksud atau sengaja), a financial transaction, proceed of crime, knowledge or reason to know dan proceed of crime or unlawful activity.[15]

Dari sifatnya yang merupakan kejahatan ekonomi maka dipikirkan bahwa praktik pencucian uang sebagian besar menggunakan sarana lembaga keuangan, maka harus dilakukan upaya agar lembaga ini tidak digunakan untuk pencucian uang. [16] Selain itu upaya pemberantasan melalui ketentuan lembaga keuangan dipandang sebagai suatu strategi dini sebagai penangkapan pelaku dan penyitaan hasil kejahatan dalam kaitannya dengan upaya preventif.

Namun demikian karena sifatnya yang merupakan kejahatan tetap harus dilakukan upaya represif, maka ditawarkan suatu pemikiran pemberantasan dengan pendekatan dua jalur yang disebut sebagai twin track against money laundering:

“A twin track policy has gradually evolved in the fight against money laundering, consisting of preventive approach, founded in banking law, and repressive approach founded in criminal law. To portray the distinction between the preventive and the repressive approach to money laundering as a dichotomy between criminal and financial law is, however, an oversimplification.”[17]

Berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang maka kedua pendekatan tersebut hanya dibedakan tetapi tidak dipisahkan, bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Diawali dengan pendekatan preventif yang diletakan pada lembaga keuangan nampaknya upaya pemberantasan melalui bidang ini dipandang sebagai strategi dini dan yang paling signifikan.

Misalnya pada tahap placement lembaga keuangan (bank) dimanfaatkan dengan cara yang sederhana sampai yang rumit menggunakan wire transfer ataupun munculnya Payable Through Accounts (PTAs).[18]

Dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9).

Pasal 3: 
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;

f. membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya;

dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyemarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar.

Unsur obyektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).

Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut. 

Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:

a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,

harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.

Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.

Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu: 

Pasal 8:

Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.

Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:

a. transaksi keuangan mencurigakan;

b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

Pasal 9:

Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa kedalam atau keluar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta.

Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada ketegasannya. Selanjutnya ketentuan Pasal 9 pada tahap formulasi sudah sesuai standar, hanya ketentuan melaporkan kepada siapa ternyata diatur dalam Pasal 16, semestinya ketentuan kedua pasal tersebut berdekatan.

B. Kelemahan berkaitan dengan Penerapan UUTPPU

Faktor ke dua dan paling menonjol kelemahannya adalah dalam tahap pelaksanaannya. Untuk menegakan hukum terhadap terhadap praktik pencucian uang memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan juga PPATK. Masing-masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan dengan baik terkoordinir dan simultan. Namun nampaknya masih terdapat masalah dalam penegakan terhadap pencucian uang:

1) Peranan PPATK dalam pengungkapan pencucian uang

Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana pencucian uang adalah[19]:

“The Financial Intelligence Unit or FIU XE “FIU” is an information gathering and processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves, reveiw and evaluates information on very large number of transactions. Out of those only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police.

PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang mencurigakan.

Namun demikian badan ini tetap dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) membantu kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya. Artinya bahwa hasil anlisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu berarti. 

2) Peran Polisi dalam melakukan investigasi terhadap perkara pencucian uang.

Dalam ketentuan UUTPPU dimaksud penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang berada dibawah kewenangan Kepolisian R.I., disamping itu dibentuk lembaga (Financial Investigation Unit), yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya antara lain penerima laporan (repository function) dan penganalisis (analysis function) dan sebagai clearing house yaitu lembaga yang menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi atas transaksi yang mencurigakan.

[20] Berkenaan dengan tugas penyidikan polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, dan untuk perkara pencucian uang bukanlah masalah mudah, apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya. Peran polisi juga sangat dominan manakala berkaitan dengan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana ini di luar negeri. Kemajuan dibidang teknologi informasi memungkinkan kejahatan pencucian uang bisa terjadi melampaui batas kedaulatan suatu Negara, untuk mencegah dan memberantasnya memerlukan kerjasama antara Negara.

Penyidikan juga akan semakin sulit ketika melibatkan penggunaan jasa wire system, hal ini nampaknya dikarenakan tuntutan efisiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka.[21] Sejak 1989 dihampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal, antar bank dan lembaga keuangan (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer), ini merupakan cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum, dimana sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.

[22] Cara ini juga sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau cyber payment yang merupakan salah satu jasa yang diberikan oleh electronic banking, yang memungkinkan pembayaran transfer berlangsung dengan mobilitas tinggi dengan mengoptimalkan jaringan perbankan international (International Offshore Banking Centers) sebagai lembaga intermediasi.

Masalah wire transfer system yang menyertai money laundering juga semakin mempersulit pembuktian, transfer semacam ini bisa terjadi antarbank (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer) adalah suatu cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum dan sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.

[23] Selain itu polisi juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk memenuhi unsur yang harus dibuktikan jaksa tersebut sangat sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, benar-benar harus didukung berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan pelaku.

Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK. 

Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi.

Sudah seharusnya mulai dipikirkan bahwa ketika suatu perkara pencucuian uang terungkap maka para pelaku kejahatan itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang mereka lakukan dan pada akhirnya akan menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu mengikuti pemberitaan kasus mereka di media massa, menyimak jalannya persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan serta mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk mengetahui di mana kelemahan mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi.

Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank.

Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika.

Namun untuk operasi penjebakan pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak sekedar penyamaran saja tetapi negara harus menyiapkan sejumlah uang yang akan digunakan dalam penyamaran tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya undang-undang stink operation ini akan sulit terwujud.

3) Peranan Jaksa dan problema pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

Dalam pengamatan selama 4 tahun Indonesia memiliki ketentuan anti pencucian uang, maka nampaknya kegagalan terbesar terletak pada kelemahan jaksa dalam membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crimes) sehingga ada permasalahan lain yaitu bagaimana dengan core crime (predicate offencenya). Apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan predicate offencenya.

Berdasarkan amanat undang-undang maka predicate offece tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya maka dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate offence dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan predicate offencenya, namun pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri (as a separate crime). Dengan demikian dalam mendakwa tindak pidana pencucian uang misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3 maka predicate offence dan follow up crimesnya didakwakan sekaligus.

Namun demikian perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offencenya, tetapi hanya tindak pidana pencucian uangnya.

Selanjutnya masih ada dakwaan tunggal untuk tindak pidana pencucian uang yang tidak harus dikaitkan dengan predicate offencenya, dalam hal ini misalnya pelaku hanya berkenaan dengan dakwaan Pasal 6, dimana pelaku hanya dipertanggungjawabkan atas perbuatan pencucian uang pasif yaitu menerima dan lain-lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan. Dalam hal pelaku hanya berkaitan dengan Pasal 6 maka dakwaannya bersifat tunggal atau didakwa alternative dengan pasal lain yang relevan, yang penting harus sesuai dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.

Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi.

Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tersebut.

[24] Jadi apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan bersal dari kejahatan maka dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di Indonesia hal ini nampaknya belum dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur menyamarkan (disguissing) yang lebih mudah dibuktikan daripada menyembunyikan (hiding).

4) Peranan Hakim dalam memutus perkara pencucian uang.

Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus.

Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua system acara peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian (the shifting of the burden of proof).

UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara persidangan khusus untuk pembalikan beban pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan. Selain tatacara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsure saja.

Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsure ini tidak bias dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsure lainnya baik itu unsure obyektif amaupun subyekti, sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen).

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dst, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsure intended pasti terbukti.

Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melaku transfer misalnya, dan kemuidian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak baik yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan.

Terhadap ide ini hakim harus benar-benar mempunyai keberanian yang dilandasi keyakinannya atas logika hukum yang ditawarkan tersebut. Untuk mencapai profesionalitas yang memadai serta inovatif tersebut, sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dalam mempelajari teori pembuktian yang telah dilakukan di berbagai Negara yang telah banyak pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan. 

4. Penutup.

Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum bisa berkerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri.

Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti. Dengan demikian kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa.

Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan kumulatif. 

Pada akhirnya profesionalitas hakim juga harus memegang peranan penting untuk pengungkapan perkara pencucian uang, mengingat terdapat pendekatan pragmatis dan inovatif yang terpaksa harus dilakukan sehubungan dengan sulitnya pembuktian.



(Penulis (Yenti Garnasih) lahir 11 Januari 1959 merupakan Doktor di bidang pencucian uang, Beliau Dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Sekretaris Pusat Studi Pidana Universitas Trisakti), Tenaga Ahli pada Kantor Menteri Lingkungan Hidup, dan Pengajar di Pusat Pendidikan Serse Mega Mendung)

Catatan: Tulisan ini juga dimuat dalam Jurnal Legalitas/Legislasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baldwin Jr, Fletcher N, Money Laundering and Wire Transfer: When The New Regulation Take Effect. Will They Help?, Dick.J. Int’l. L. vol.14, 1996.
Barbot, Lisa A, Comment, Money Laundering: An International Challenge”,Tul.J.Int’l & Comp.L.,vol.3,1995.
Bhala, Raj, The Interveted Pyramid of Wire Transfer Law, Ky.L.J.82, 1993.
Biagio, Thomas M, Money Laundering and Trafficking: A Question of Understanding The Element of The Crime and The Use of Circumstacial Evidence, Univ.of Richmond Law.Rev, Vol.28:255.1994.
Chaikin, David A, Money Laundering: An Investigatory Perspective, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991.
De Feo, Michael A, Depriving International Narcotics Traffickers and other Organize Criminals of Illegal Proceed and Combating Money Laundering, Den.J. Int’l L & Pol’y, vol. 18:3, 1990.
Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2003.

Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 



1. Pendahuluan

Dalam kurun waktu keberadaan negara ini sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat, silih berganti sejalan dengan masa transisi sistem politik dan pemerintahan. Misalnya saja, Peraturan Penguasa Militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda, diundangkan pada situasi politik setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Setelah peraturan Penguasa Perang Pusat (PEPERPU) tersebut yang sifatnya temporer tidak berlaku lagi, kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 (yang disyahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961) tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berada dalam rezim dengan sistem politik dan pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (yang dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) yang menggantikan UUD Sementara 1950.

Setelah terjadi perubahan sistem politik Orde Baru (era kekuasaan Soeharto) yang menggantikan politik Orde Lama, (era kekuasaan Soekarno) dilahirkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Dalam masa perubahan sistem politik era reformasi yang menggantikan sistem politik Orde Baru, dimana masalah korupsi menjadi topik utama menuju perubahan, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Jika dicermati setiap konsideran maupun penjelasan umum dari setiap perubahan dalam Perundang-Undangan tersebut diatas, akan terungkap bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang berbunyi bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, sementara itu perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks. 

Jadi setiap lahirnya Undang-Undang tentang pemberantasan korupsi, senantiasa diiringi harapan bahwa Undang-Undang yang baru akan dapat mengatasi masalah tindak pidana korupsi. Masyarakat dijanjikan akan datangnya zaman baru yang bebas dari korupsi.

Harapan tersebut pada awalnya memang menggembirakan, pemberantasan korupsi dilaksanakan sungguh-sungguh dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Namun ternyata kemudian, seiring dengan perjalanan waktu ketika pemberantasan korupsi menyentuh hampir seluruh struktur dan sistem masyarakat, kekhawatiran mulai muncul pada sekelompok masyarakat terutama elite kekuasaan, mereka merasa bahwa pada gilirannya akan menjadi target operasi pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Dari situasi inilah akan timbul perlawanan baik terang-terangan maupun secara tersembunyi dengan menyusup ke pembuat kebijaksanaan dengan maksud mempengaruhinya sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi tidak optimal. Perlawanan secara tidak langsung juga dilakukan melalui isu-isu yang dapat menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Penolakan para birokrat untuk diangkat sebagai pimpinan proyek dan bendaharawan proyek, ketakutan pimpinan instansi pemerintahan mengambil keputusan yang strategis, ketidak beranian pimpinan bank menyalurkan kredit, keengganan pengusaha mengambil kredit pada bank-bank pemerintah serta bermacam-macam sikap lain yang negatif, senantiasa dihembuskan sebagai isu-isu dan dalih untuk melakukan perlawanan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perlawanan dan penolakan tersebut oleh sementara orang dipandang sebagai wujud keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu menganggap orang mulai takut melakukan korupsi. Namun bagi sebagian orang yang memiliki kejujuran dan pengabdian, situasi psikologis, rasa takut tersebut, bukan disebabkan karena takut korupsi. Kekhawatiran mereka lebih tertuju pada ketidak pastian dalam penegakan hukum, tidak ada konsistensi dalam penerapan hukum. 

Mereka senantiasa was-was, bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan saat ini sudah benar dan sesuai dengan ukuran norma hukum yang berlaku pada masa kini, ternyata di kemudian hari setelah terjadi pergantian rezim pemerintahan, keputusannya tersebut dinilai keliru dan melanggar hukum berdasarkan ukuran norma hukum yang berlaku pada rezim pemerintahan yang baru. Pada intinya, orang khawatir tidak ada kepastian aparat penegak hukum dalam menafsirkan atau menginterpretasikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara profesional, dengan menerapkan hukum secara benar sejalan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan. Menjadi penting bagi aparat penegak hukum untuk memegang teguh metode intepretasi hukum yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan hukum pidana.

2. Sekilas Tentang Metode Interpretasi Hukum

Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”.[1]) Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.

Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum. [2])

Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang. 

Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.

Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. 

Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.[3]

Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis, interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis, interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis, interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.

Interpretasi otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara.[4]

2.1. Interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal.

Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.

Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.

2.2. Interpretasi menurut sejarah atau historis

Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu :

a. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)

Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.

b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)

Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.


2.3. Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis

Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.

Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.

2.4. Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis.

Sementara ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis.[5] Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. 

Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu sekarang.[6]

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu. 

Ini dinamakan interpretasi sosiologis.[7] Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.[8]

2.5. Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan hukum.

Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.[9]

2.6 Interpretasi futuristis.

Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.

3. Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi

Pengamatan terhadap praktek penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak 13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam implementasinya.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” 

Perumusan yang luas dan dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain. Interpretasi yang menyangkut, subyek hukum,”unsur, melawan hukum “ serta unsur, keuangan negara atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti ahli.

3.1. Subyek Hukum

Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dirumuskan dengan kata, setiap orang “ yang secara otentik telah mendapat penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai, orang perorang atau termasuk korporasi.”

Persoalan subyek hukum ini akan mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas) Z (nama korporasi) yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”

Uraian surat dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda.

Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan penahanan.

Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan dapat dikenakan tindakan penahanan.

Pada dasarnya ternyata bahwa dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi. Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer dikalangan penegak hukum.

3.2. Unsur Melawan Hukum

Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa :

a. Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana.

Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.

Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan :

“ Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. 

Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “ overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]

Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud.

Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof.. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11] 

Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.


b. Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum

Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan. 

Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasehat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.

Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana.

Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif.

Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.

c. Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur Melawan Hukum

Polemik tentang hal ini terjadi dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.

Dalam kasus investasi yang menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam perusahaannya. 

Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.

Dari contoh-contoh tersebut diatas menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas, ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.

d. Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi

Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:

“ Menimbang bahwa menurut mahkamah agung penafsiran terhadap putusan sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.” 

“ Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk persaan hati masyarakat banyak.”

Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12] Dari putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :

Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.

Dalam praktek peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat. 

Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.

4. Penutup

Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.

Perumusan tindak pidana korupsi yang terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning).

Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.


END NOTE:

[1]) I.F. Stone, Peradilan Socrates, Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (The trial of Socrates), diterjemahkan oleh Rahma Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 210.

[2]) Wirjono Prodjodikoro, “Salah Satu Dasar Segala Hukum Adalah Rasa Keadilan”, dalam Bunga Rampai Hukum – Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hal. 28.

[3] Ibid., hal 205-206

[4] Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hal 140-141.

[5] Mochtar Kusumaatmaja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,Buku 1,Alumni, Bandung, 2000, hal 106-107.

[6] Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142

[7] Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta,op.cit.,hal 106

[8] Ibid.,hal 107

[9] Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hal 145

[10] Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan,Erlangga, Jakarta 1985 hal 247

[11] Oemar Seno Adji, Ibid hal 248-249 dan 260

[12] Lili Rasyidi dan I.B. Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 83.


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia. Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1984.
_____, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Presindo,Jakarta, 1984.
_____, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,1994.
_____, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta.

Lili Rasyidi dan I.B. Wyan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung 1999

Mahkamah Agung R.I., Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, 1993.

Harapan Masa Depan Pemberantasan Pencucian Uang

 
Sabtu, 2008 Juli 05 
Pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidaklah semudah perkiraan sementara orang karena harus menghadapi kompleksitasi ketentuan tentang perbankan dan ketentuan lain terkait dengan pengaturan “kejahatan asal” (predicate offence). Penggunaan jasa lembaga keuangan baik bank dan non-bank merupakan kunci keberhasilan lalu lintas perdagangan internasional namun di balik itu juga tersembunyi masalah besar dalam pemberantasan korupsi dan pelacakana aliran dana hasil korupsi yang bersifat lintas batas territorial. Perkembangan teknologi “electronic funds transfer” seharusnya dapat diimbangi dengan peningkatan teknologi dalam hal “pelacakan seketika” (prompt entailment) sehingga dengan cepat dapat diketahui keabsahan penempatan dan proses intgerasi sejumlah uang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana termasuk korupsi.

Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana pencucian uang di Indonesia telah mengalami stagnasi dalam keberhasilan membawa kasus ini ke pengadilan. Hal tsb disebabkan,

pertama, masih belum ada kesepahaman di antara PPATK, penyidik kepolisian dan penuntut umum tentang apa dan bagaimana seharusnya membuktikan kasus pencucian uang. Sekalipun secara normatif di dalam UU Pencucian Uang tahun 2003, telah ada penjelasan mengenai hal tsb, tampaknya belaum terdapat penafsiran hukum yang sama. 

Kedua, celah hukum UU Pencucian Uang masih tampak jelas dengan belum diaturnya hukum acara untuk melaksanakan “pembuktian terbalik” sekalipun dalam Pasal 35 UU tsb telah diatur secara jelas. Kelemahan normatif ini diperberat dengan belum dibangunnya sistem komunikasi “online” antara aparatur gpenegak hukum sehinggga pelacakan transaksi keuangan yang mencurigakan dapat segera diketahui pemiliknya dan segera dilakukan pembekuan dan penyitaan.

Faktor ketiga, yang menghambat implementasi UU Pencucian Uang, adalah, KUHAP telah membatasi ruang gerak kepolisian dan kejaksaan untuk memeriksa seorang tersangka dalam kasus tppu sesuai dengan batas waktu lamanya penahanan yang ditetapkan. Kondisi tersebut lebih diperberat lagi dengan tidak adanya wewenang PPATK untuk menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan, namun hanya sebatas kantor pusat analisis semata-mata.

Dalam pemberantasan TPPU jelaslah bahwa posisi dan status hukum ketiga lembaga ini jelas bertentangan secara diametral; dua institusi pertama sekalipun tidak independent tetapi memiliki wewenang penyelidikan,penyidikan dan penuntutan sedangkan PPATK sekalipun merupakan lembaga independent tetapi tidak memiliki kedua fungsi tersebut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari status hukum PPATK Indonesia masih merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi administratif (administrative type model), dan belum merupakan lembaga penegakan hukum (law enforcement type model/LEM).

Implikasi dari masalah hambatan tersebut berdampak negatif terhadap kinerja pemberantasan tindak pidana pencucian uang di mana data statistic menunjukkan bahwa, hanya satu perkara dengan dakwaan pencucian uang di pengadilan dari lebih dari 400 kasus transasksi keuangan mencurigakan yang sudah berada ditangan kepolisian, dan hanya ada 48 kasus di tangan kejaksaan).

Kasus pencucian uang yang melibatkan Adrian W dan beberapa banyak lagi tersangka korupsi yang seharusnya juga didakwa dengan pencucian uang tidak berjalan dengan optimal dan efektif. Seiring dengan kemandulan penegakan hukum tersebut sering ditiupkan masalah sulitnya pembuktian TPPU tsb dengan dua alasan yaitu, bagaimana kaitan pembuktian antara “kejahatan asal” dan “TPPU”; dan kedua, lemahnya ketentuan pasal 3 UU Nomor 15 tahun 2002 jo UU Nomor 25 tahun 2003 untuk menjerat pelaku tppu aktif karena secara teknis hukum dinilai tidak benar.

Namun demikian, pendapat tsb masih dapat diatasi jika aparatur penyidik dan penuntut umum mau bersungguh-sungguh membawa kasus TPPU ini ke pengadilan, antara lain dapat digunakan ketentuan tentang pembuktian terbalik di persidangan dengan menyerahkan sepenuhnya kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukum acara terbaik dalam proses pembuktian terbalik tsb, dan mau bekerja sama dengan KPK dan Direktorat Jenderal Pajak dalam kaitan indikasi harta kekayaan tersangka/terdakwa yang tidak wajar.

Sesungguhnya masih banyak jalan menuju ke roma begitulah kata pepatah sehingga tidaklah ada alasan hukum yang signifikan untuk tidak menggunakan seoptimal mungkin seluruh ketentuan UU tentang TPPU tsb. Dalam praktik tampaknya factor ketidakinginan aparatur penyidik dan penuntut lebih besar dari factor ketidakmampuan mereka selaku aparatur penegak hukum dalam memberantas pencucian uang ditambah dengan factor kelemahan koordinasi antar kedua instansi tsb dengan PPATK dan instansi terkait lainnya.

Lolosnya tersangka Maria Pauline dari jangkauan hukum, yang melarikan diri ke Singapura dan kemudian kembali ke Belanda, merupakan tamparan keras terhadap kinerja aparatur kepolisian,kejaksaan, PPATK,dan Ditjen Imigrasi.

PPATK di masa yad harus mengadopsi model lembaga penegak hukum , dan untuk tujuan tersebut diperlukan perubahan mendasar di dalam UU Nomor 15 tahun 2003 . Hanya dengan cara tersebut kepercyaan dunia lalu lintas keuangan internasional akan tumbuh kembali dengan baik sehingga akan memperkokoh posisi Indonesia sebagai anggota asosiasi PPATK Se-dunia (Edmont group). 

Dalam kaitan kebijakan hukum baru tsb diperlukan perubahan mendasar baik yang bersifat normative (hokum materiel dan hukum formil) maupun perubahan kelembagaan. Perobahan kelembagaan PPATK menjadi Komisi Pemberantasan Pencucian Uang merupakan syarat kedua agar terjadi perobahan signifikan dalam pemberantasan pencucian uang. 

Komisi diberikan wewenang yang luas dan sama dengan KPK seperti antara lain, Komisi dapat memberhentikan tersangka dari jabatan sementara tanpa izin atasan; merekam dan menyadap komunikasi dan transaksi elektronik tersangka; menahan tanpa izin atasan.

Syarat ketiga, untuk memperkuat Komisi tsb perlu dibentuk pengadilan khusus untuk memeriksa dan mengadili kasus pencucian uang yang terdiri dari hakim majelis 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) hakim adhoc, dan 2 (dua) hakim karir. Pembentukan Komisi dimaksud sudah tentu memerlukan biaya tambahan yang akan membebani APBN namun demikian keuntungan yang lebih besar bagi pembangunan sistem dan kinerja aktivitas lalu lintas keuangan yang sehat dapat menutup besarnya anggaran yang dikeluarkan. 

Pembentukan Komisi akan mempersatukan seluruh wewenang penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan kasus tppu. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan 2 (dua) model, yaitu model komprhensif dan model parsial; model komprehensif menyatukan wewenang penyelidikan,penyidikan dan penuntutan, sedangkan model parsial minus penuntutan. Lingkup Komisi ini sebaiknya meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan pemulihan asset hasil kejahatan (asset recovery), lebih luas dari model penegakan hukum atau model administrative yang dianut di beberapa negara.

analisa implementasi Asas Praduga Tak Bersalah di indonesia

 

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. 
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.
Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. 
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah.Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu: 

• hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
• hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
• hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
• hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
• hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
• hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
• hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
• hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya. 

Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah. 
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis.Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.

Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.



Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu.Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”. Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi. Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini. Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. 
persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan.Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selasa, 12 Mei 2009

UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB I
KETENTUAN UMUM
• Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang
dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu
upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
perdagangan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
• Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
• Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya
sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
• Pasal 4
Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
• Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
• Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
• Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
• Pasal 8
1 Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3 Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
4 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
• Pasal 9
1 Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2 Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
3 Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
• Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
• Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan;
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
• Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut
tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
• Pasal 13
1 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain
secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
2 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
• Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
• Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen.
• Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
• Pasal 17
1 Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
2 Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
• Pasal 18
1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2 Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3 Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
4 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang
ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU
• Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
• Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang
ditimbulkan oleh iklan tersebut.
• Pasal 21
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
• Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
• Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti
rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
• Pasal 24
1 Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
2 Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
• Pasal 25
1 Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
a. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
b. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
2 tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
• Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
• Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
• Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku
usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
• Pasal 29
1 Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
2 Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis
terkait.
3 Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
4 Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha
dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
• Pasal 30
1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat
disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

• Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
• Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia
dan bertanggung jawab kepada Presiden.
• Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia.
• Pasal 34
1 Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
2 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan

• Pasal 35
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang
dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
• Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a. pemerintah;
b. pelaku usaha;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d. akademis; dan
e. tenaga ahli.
• Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. berusaha sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
• Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.
• Pasal 39
1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu
oleh sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
• Pasal 40
1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk
perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
• Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata
kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
• Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
• Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT

• Pasal 44
1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat.
2. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
• Umum
• Pasal 45
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
• Pasal 46
1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit.
2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf
c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan

• Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
• Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
• Pasal 49
1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
2. Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
3. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri.
• Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri
atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. wakil ketua merangkap anggota;
c. anggota.
• Pasal 51
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
3. Pengangkutan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
• Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undangundang
ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
• Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
• Pasal 54
1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa
konsumen membentuk majelis.
2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya
3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
3. Putusan majelis final dan mengikat.
4. Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
• Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
• Pasal 56
1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.
2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 4
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
• Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan
eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
• Pasal 58
1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua satu) hari sejak diterimanya
keberatan.
2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

BAB XII
PENYIDIKAN

• Pasal 59
1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta
melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.

BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
• Pasal 60
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25
dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
• Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
• Pasal 62
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
• Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.



BAB XIV
• KETENTUAN PERALIHAN
• Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang
telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

• Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.